Minggu, 28 Februari 2016

Diskusi Publik "Revisi UU Anti Terorisme"

Diskusi Publik
Revisi UU Anti Terorisme

Waktu :
Sabtu, 28 Februari 2016

Tempat :
Brownbag Cafe, Menteng, Jakarta

Pembicara :
  1. Andrew (CSIS)
  2. Arsul Sani (DPR)
  3. Wahyudi (Maarif)
  4. Haris Azhar (Kontras)

Penyelenggara :
Kontras



    ULASAN Redaksi :

    Andrew
    Revisi UU Terorisme perlu, meskipun belum membaca draftnya. Tapi masalahnya adalah apakah harus sekarang ? Diskusi sekarang bergeser apakah pengikut ISIS harus dicabut kewarganegaraannya ? Yang dibidik oleh terorisme jangka panjangnya adalah mengubah siatem. Terorisme sekarang dinilai sebagai terorisme gelombang keempat, yakni terorisme yang menggunakan teknologi. Karena bisa menggunakan perangkat 2 teknologi yang canggih, karena didukung teknologi global. Kenapa didukung religius, karena agama paling gampang dipakai oleh Orang2 yang ingin mengubah aiatem.

    Arsul Sani (DPR)
    Di tahun 2015 diminta agar RUU Terorisme menjadi prioritas. Kemudian dengan semakin banyak nya Orang orang yang bergabung dengan ISIS, maka wacana revisi tersebut semakin menguuat.
    Selanjutnya Fokus fokus revisi :
    1. Menyangkut soal pelatihan pelatih terorisme.
    2. Pemberatan sanksinya
    3. Menyangkut siapa yang bisa dipidana, yakni perorangan dan korporasi.

    Selain itu fokus revisi juga menyangkut kewenangan. Tidak setuju bahwa BIN mempunyai wewenang upaya paksa. BIN harus tetap pada tupoksinya. Proses hukum tetap pada polisi.

    Haris Azhar
    Terorisme harus dilawan. Tapi semahal apa yang harus dikeluarkan ? Sebelum 2015 revisi ini sudah diagendakan. Menuduh pemerintah sekarang menggunakan peristiwa Thamrin untuk semena mena merevisi UU Terorisme. Pentingnya partisipasi masyarakat secara egaliter mengenai pembahasan revisi UU Terorisme ini. Bagi Haris, menangkap itu seharusnya adalah periode transisi. Tapi yang terjadi sekarang adalah menangkap justru untuk mencari barang bukti. Menurutnya, ada motif politik di balik pengajuan revis UU tersebut.

    Wahyudi
    Menurut Maarif Institut saat ini terjadi 2 hal :
    1. Terlalu kuatnya intervensi negara terhadap kebebasan sipil dikaitkan dengan hal hal berbau terorisme.
    2. Adanya ketakutan halusinasi terhadap sesuatu, seperti yang terjadi di era Orde Baru dengan ketakutannya pada hal hal berbau komunisme. Pentingnya isu keluarga dalam pemberantasan terorisme.




    Deradikalisasi Agama dan Institusi Keluarga 
    Oleh Wahyudi Akmaliah 
    Associate Researcher Maarif Institute 
    wahyudiakmaliah@gmail com 

    Dalam upaya melakukan deradikalisasi agama, ada beberapa hal yang sudah ditempuh Maarif Institute sebagai bagian dari advokasi gagasan dan diseminasi ide ajah Islam yang toleran, yaitu penerbitan buku dan jurnal, pembuatan film yang kemudian dipromosikan ke sekolah-sekolah umum dan agama, serta adanya pelatihan pemberdayaan muda-mudi mengenai keragaman dan toleransi melalui Jambore Pelajar Teladan Bangsa yang sudah berjalan lebih tiga tahun. Tentu saja, apa yang dilakukan oleh Maarif Institute ini belum dapat memberikan kontribusi signifikan dalam meredam benih-benih terorisme. Selain lingkup Indonesia begitu luas, sosial kapital kultural, dan ekonomi yang dimiliki oleh Maarif itu tidaklah begitu besar. Karena itu, Maarif Institute hanyalah bagian kecil di antara lembaga-lembaga sosial dan ornop di Indonesia yang mencoba mendorong moderasi Islam di Indonesia.

    Harus diakui, upaya deradikalisasi, khususnya untuk meminimalisir aksi terorisme, sudah banyak ditawarkan dan dilakukan, mulai dari pelibatan kerjasama antara elemen masyarakat, seperti ormas, NGO, dan pemerintah melalui institusi sosial, politik, dan keamanannya, hingga upaya melakukan perubahan kurikulum dalam pendidikan sekolah dalam menguatkan nilai-nilai Islam yang lebih berwajah toleran. Namun, gagasan dan advokasi yang ditawarkan itu seringkali tidak menyentuh kepada persoalan dan penyelesaian utama. Persoalan ini yang sekarang kerapkali dianggap tabu, konservatif dan ditinggalkan. yaitu penguatan kembali institusi nilai-nilai keluarga. Maksud institusi keluarga yang saya bayangkan bukanlah pengkondisian untuk kembali seperti rejim Orde Baru berkuasa, di mana negara mengintervensi secara penuh individu masyarakat sampai kepada suatu hal yang subtil, seperti pemakaian kontrasepsi untuk Keluarga Berencana. Hal ini bukan juga bermaksud mengembalikan peranan perempuan ke dalam ranah domestik sebagai bagian dari lbuisme. Lebih jauh, pendefinisian ulang apa yang disebut dengan keluarga dengan melihat kembali komponen struktur sosial yang pincang. Upaya penguatan institusi keluarga ini perlu didukung oleh komponen masyarakat, khususnya ormas dan omop, dan pemerintah, baik daerah maupun pusat melalui aparatus sipilnya.

    Sebagaimana diketahui, pasca rejim orde Baru, Indonesia mengalami kekosongan kekuasaan, termasuk di dalamnya adalah imajinasi ideal mengenai kehidupan yang bernama keluarga. Selain karena adanya upaya menghilangkan begitu saja apa yang diwariskan oleh rejim Orde Baru seiring dengan "hilangnya struktur kekuasaan"nya, hal tersebut itu mendorong orang untuk melakukan pencarian mengenai tipe ideal apa yang dimaksud dengan keluarga dan nilai-nilai dianutnya di tengah arus globalisasi yang menguatkan fondasi sekulerisasi melalui kapitalisme dan praktik konsumerisme. Bagi mereka penganut agama Katholik yang taat, kembali kepada institusi gereja sebagai modal kapital membangun kekuatan dalam penghidupan diri dan keluarga di tengah ketidakpastian ekonomi yang membuat keimanan mereka goyah menjadi jalan keluar. Bagi penganut lslam, khususnya.

    Tulisan ini disampaikan dalam acara "Diskusi Terbuka: Rencana Revisi Undang-Undang Anti Terorisme di Indonesia", Minggu 28 Februari 2016, diadakan oleh Kontras.

     
    Slide foto-foto selama acara

    .

    Tidak ada komentar: