Minggu, 29 November 2015

Konferensi Pers : "Menanti Kehadiran Negara dalam melindungi Perempuan Buruh Migran melalui RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri"

Konferensi Pers :
"Menanti Kehadiran Negara
dalam melindungi Perempuan Buruh Migran
melalui RUU Perlindungan Pekerja Indonesia
di Luar Negeri"

Waktu :
Minggu, 29 November 2015

Tempat :
Bakoel Koffie, Jl. Cikini Raya No. 25, Jakarta Pusat Telepon: 31936608.

Narasumber: 
  • Dian Kartikasari (Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia)
  • Nadlroh As-Sariroh (Presidium Nasional Kelompok Kepentingan Perempuan Buruh Migran - Koalisi Perempuan Indonesia)
  • Irma (Anggota DPR RI - Panitia Kerja (PANJA) RUU PPILN )
  • Lili (Anggota Kelompok Kepentingan Perempuan Buruh Migran - Koalisi Perempuan Indonesia) 

 
ULASAN 

Koalisi Perempuan Indonesia adalah organisasi massa yang beranggotakan individu yang memiliki visi dan misi mempengaruhi dan menentukan perubahan di berbagai aspek kehidupan. Salah satu Kelompok Kepentingan dari Anggota Koalisi Perempuan Indonesia adalah Perempuan Buruh Migran.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya, melalui Undang-Undang No. 6 tahun 2012, dan saat ini DPR RI sedang melakukan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Pada tanggal 7 September 2015 DPR RI telah mengesahkan Draft RUU PPILN sebagai RUU Inisiatif DPR RI dan menyerahkannya pada Presiden. 
Koalisi Perempuan Indonesia merasa prihatin dengan substansi RUU PPILN yang jauh dari kebutuhan perlindungan perempuan buruh migran. Untuk itu Koalisi Perempuan Indonesia akan menyelenggarakan Konferensi Pers: Menanti kehadiran Negara dalam melindungi Perempuan Buruh Migran melalui RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri.

Dian Kartikasari
Negara hadir di semua lini. RUU akan mencakup semua kepentingan migran. Perlindungan sosisal, ada jaminan sosial dialihkan swasta dalam bentuk konsorsium asuransi. Artinya negara melepaskan tanggung jawabnya. Harus ada jaminan hukum dan bantuan hukum. Kemensos melakukan upaya untuk perlindungan buruh migran. 


Nadlroh As-Sariroh
Membacakan. Pernyataan Pers koalisi Perempuan Indonesia. "RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri masih Minim Perlindungan". Kita harus berangkat dari realitas, bahwa masih banyak kasus, seperti pemotongan upah, perkosaan, juga PJTKI nakal tidak/belum ditindak. Apa bekal dan pendidikan sebelum berangkat. Kerja di Singapura upah yang diperoleh hanya 20% dari total upah selama 8 bulan pertama. 

Irma
Tidak ada koordinasi antar PJTKI Indonesia dengan PJTKI setempat di luar negeri. Di Jepang kondisi buruh migran bagus, tidak ada diskriminasi. Jepang masih membutuhkan banyak perawat rumah sakit dan perawat lansia dengan gaji RP 15 jt/bulan. Ada bonus Rp 40jt saat kontrak kerja selesai dan asuransi RP 100juta. Regulasi akan berubah masa kerja dari 3 tahun menjadi 5 tahun (di Jepang). 
Kelemahan tenaga kerja kita di bahasa jepang. Ada kasus kontraknya ke Malaysia tapi penempatannya di Abu Dhabi. KJRI Osaka 2014 ada anak dari Jawa yang mau dipekerjakan di pabrik, ternyata ditempatkan sebagai pekerja pertanian. Stres, dan akhirnya bunuh diri. Akan dilaporkan ke Menaker. Buruh kapal bukan kelasi, jadi buruh juga. Ada harmonisasi hukum antar DPR dan Pemerintah. 
Bekerja di luar negeri adalah hak azasi manusia. Tapi juga WNI. Jadi perlu perlindungan pemerintah. Anggaran kemenaker dikurangi, karena pemerintah fokus membangun infrastruktur dan meningkatkan pendidikan. Ada anggota DPR dan pegawai Kemenker yang mempunyai PJTKI yang menimbulkan conflict of Interest. Yang di black list bukan hanya perusahaan tapi juga pemiliknya. Istilah buruh adalah orang yang menerima bayaran. Tidak membedakah buruh kerah biru atau kerah putih. 

Lili
Gaji dipotong selama 7 bulan pertama. Kalau putus kontrak kerja terancam denda. Disediakan kamar tersendiri oleh majikan tapi setiap saat ada orang masuk untuk mengambil air. Dan harus sigap setiap kali anak bos memerlukannya. Ada temannya yang terpaksa beristirahatnya di toilet. Ada teman yang bekerja di restoran, ditangkap karena ketahuan. Karena sebagai pembantu tidak boleh bekerja di restoran.

Slide foto-foto selama acara

 
Pernyataan Pers Koalisi Perempuan Indonesia atas RUU  PPILN_251115 :


Pernyataan Pers Koalisi Perempuan Indonesia
“Rancangan Undang-undang Perlindungan 
Pekerja Indonesia di Luar Negeri
masih Minim Perlindungan”

Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi, menyambut baik atas niat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN).

Pasal 6 RUU PPILN mengatur sejumlah hak yang dimiliki oleh Calon Pekerja Indonesia di Luar Negeri dan/atau Pekerja Indonesia di Luar Negeri, baik sebagai pekerja maupun warga negara Indonesia. Sebagai pekerja, yaitu berhak atas pekerjaan dan upah yang layak, mendapatkan informasi mengenai pekerjaan dan negara tujuan, perlakuan yang manusiawi di tempat kerja, serta berserikat dan berorganisasi. Sementara sebagai warga negara, [Calon] Pekerja Migran berhak menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut, perlakuan yang sama, serta perlindungan hukum atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabat.

Pengakuan terhadap Hak Pekerja Indonesia ini, secara sepintas menunjukkan niat baik DPR untuk mengadopsi ketentuan Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Namun serangkaian hak yang telah dijamin dalam pasal 6 RUU PPILN, tidak didukung oleh bentuk-bentuk perlindungan memadai agar hak-hak tersebut dapat dinikmati oleh Pekerja Indonesia sejak pra penempatan, masa penempatan dan pasca penempatan.

Hal ini sangat terlihat dalam bab khusus tentang Perlindungan terhadap Pekerja Indonesia (Pasal 9
- 52 RUU PPILN), pada masa pra penempatan, penempatan, dan paska penempatan. Bab yang seharusnya memuat perlindungan calon/pekerja migran ternyata lebih banyak mengatur prasyarat, prosedur dan mekanisme yang perlu dipenuhi oleh calon pekerja migran dan Pelaksana Penempatan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (PPPILN), proses serah terima, serta pendataan pekerja migran.

Pra-penempatan, RUU PPILN belum mengatur tentang perlindungan calon pekerja migran dari: penipuan, eksploitasi dan kekerasan seksual, penyekapan, penempatan di penampungan yang tidak manusiawi, ketidakjelasan batas waktu penempatan di penampungan dan jerat hutang bagi pekerja yang ingin membatalkan keberangkatannya. Sementara saat di negara tujuan kerja, RUU PPILN juga minim perlindungan atas hak-hak pekerja migran sebagai pekerja maupun jika berhadapan dengan hukum di negara tujuan.

Paska penempatan, jika pekerja migran yang pulang memiliki permasalahan di negara tujuan, maka perlindungan yang tersedia adalah pendampingan hukum terkait permasalahan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Padahal, Pekerja migran yang mengalami penganiayaan, atau bentuk kekerasan lainnya, membutuhkan perlindungan hukum, layanan kesehatan fisik dan psikis, tempat perlindungan sementara, rehabilitasi psikososial, maupun tunjangan perawatan kesehatan dan penghidupannya.

Selain itu, RUU PPILN belum menunjukkan terobosannya dalam melindungi perempuan buruh migran yang mengalami kekerasan seksual, dalam bentuk perkosaan, pelecehan seksual, maupun yang menjadi korban perdagangan manusia. Perempuan buruh migran yang mengalami bentuk-bentuk kekerasan di atas umumnya sulit mengakses bantuan hukum dan psikologis selama di negara tujuan.
 
Sebaliknya, RUU PPILN berpotensi melanggengkan kerentanan perempuan buruh migran Indonesia untuk menjadi korban perdagangan orang. Dalam proses perekrutan, perempuan buruh migran mengalami penyesatan informasi mengenai pekerjaan, serta berbagai penipuan administrasi agar dapat diberangkatkan, mengalami jeratan utang untuk membiayai administrasi, pelatihan maupun transportasi. Sementara di tempat kerja, Amnesty Internasional (2013) menemukan perempuan buruh migran Indonesia mengalami kekerasan fisik dan psikis berupa pembatasan komunikasi dan mobilitas ke luar rumah majikan, tidak digaji atau digaji jauh di bawah standard minimum, hingga pemaksaan pemotongan rambut dan penggunaan kontrasepsi. Situasi-situasi ini telah memenuhi unsur pemalsuan, penipuan, maupun penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat dalam Undang-undang No. 21 tahun 2007 Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTTPO).

Koalisi Perempuan Indonesia menyayangkan jauhnya kesenjangan antara substansi RUU PPILN dengan kebutuhan perlindungan perempuan pekerja migran. RUU PPILN yang seharusnya merupakan payung hukum perlindungan pekerja migran, ternyata minim perlindungan. Untuk itu, Koalisi Perempuan Indonesia merekomendasikan agar DPR RI dan Pemerintah mengkaji kembali substansi RUU PPILN, untuk memastikan:

1. Pelaksanaan ketentuan Pasal 28 I ayat (4) UUD1945 bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan dan Pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.
2. Perumusan ulang pasal-pasal RUUPPILN, khususnya dalam Bab tentang Perlindungan Pekerja Indonesia, agar lebih nyata dan operasional dalam memberikan perlindungan bagi Pekerja Indonesia, pada masa pra penempatan, masa penempatan dan masa pasca penempatan.
3. Perumusan satu bab khusus untuk mengatur tentang pencegahan, praktek kejahatan perdagangan orang melalui jalur penempatan Pekerja Indonesia. Serta merumuskan penanganan korban perdagangan orang melalui program rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, reintegrasi sosial dan pemberdayaan sosial dan ekonomi.
4. Pengakhiran penyelenggaraan program asuransi komersial sebagai pelakasana pelayanan publik, dan menggantinya dengan sistem asuransi sosial yang diselenggarakan oleh Badan Hukum Publik dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden
 

Jakarta, 29 Nopember 2015

Dian Kartikasari                Nadlroh As Sariroh
Sekretaris Jendral            Presidium Nasional KK Buruh Migran


Cover Rekomendasi BMI :

klik gambar untuk memperbesar

Rekomendasi kebijakan Koalisi Perempuan Indonesia
untuk RUU PPILN

“RUU PPILN Harus Sejalan dengan Agenda Pembangunan Nasional:
Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa
dan memberikan rasa aman pada seluruh warga Negara“

Sekilas tentang
Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi


Koalisi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan dan Demokrasi, untuk selanjutnya disebut Koalisi Perempuan Indonesia, merupakan organisasi perempuan yang bersifat independen, nir laba, non partisan dan non sektarian
Koalisi Perempuan Indonesia didirikan pada 18 Mei 1998 di Jakarta dan dikukuhkan melalui Kongres I Koalisi Perempuan Indonesia di Yogjakarta pada 17 Desember 1998.
Koalisi Perempuan Indonesia berbentuk organisasi massa dan gerakan beranggotakan individu, perempuan Indonesia dan memiliki struktur organisasi di tingkat Desa, yang disebut dengan Balai Perempuan, di tingkat Kabupaten/kota disebut Cabang, di tingkat Provinsi disebut Wilayah dan di tingkat Nasional. Saat ini Koalisi Perempuan Indoneisa memiliki 14 wilayah, 120 Cabang dan 917 Balai Perempuan dengan jumlah anggota 40.372.
Visi Koalisi Perempuan Indonesia adalah: Terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender menuju masyarakat yang demokratis, sejahtera dan beradab.
Untuk mewujudkan visi tersebut, Koalisi Perempuan Indonesia giat melakukan perjuangan pengakuan, pemajuan dan pemenuhan Hak-hak perempuan Indonesia termasuk di dalamnya hak anak, baik yang dilindungi oleh hukum nasional maupun instrument hukum internasional, terutama hak-hak perempuan sebagaimana tercantum dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah disahkan melalui Undang- undang Nomor 7 Tahun 1984.

Sekretariat Nasional
Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi
Jalan Siaga 1 No 2B RT 003 RW 005 Pejaten Barat
Pasar Minggu – Jakarta Selatan 12510
Email : sekretariat@koalisiperempuan.or.id
www.koalisiperempuan.or.id
@womencoalition


Tidak ada komentar: