Selasa, 22 Maret 2016

Diskusi Perludem "Perihal Calon Perseorangan dan Revisi UU Pilkada"

Diskusi Perludem
"Perihal Calon Perseorangan
dan Revisi UU Pilkada"



Waktu :
Selasa, 22 Maret 2016

Tempat :
Sekretariat Bersama Kodifikasi UU Pemilu,
Jalan Gandaria Tengah III, No. 12, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

Pembicara :
  1. Donald Fariz
  2. Veri Junaedi
  3. Sunanto
  4. Dinis

Moderator :
Heroik Pratama

Proses revisi UU No. 8 Tahun 2015 yang menjadi landasan hukum penyelenggaraan kepala daerah sedang disiapkan oleh Pemerintah dan DPR. Proses ini tentu saja diharapkan dapat menjadi pintu masuk untuk menata kembali beberapa persoalan yang menjadi catatan penting dalam penyelenggaraan Pilkada 2015 yang lalu. Namun, salah satu isu krusial yang sedang dibahas oleh DPR dan Pemerintah adalah menaikkan syarat dukungan untuk bakal calon kepala daerah yang maju dari jalur perseorangan.
Hal ini tentu bertolak belakang dengan catatan evaluasi terhadap penyelenggaraan Pilkada 2015 yang lalu. Dimana salah satu penyebab kurang berminatnya orang untuk mendaftar menjadi calon kepala daerah adalah syarat pencalonan yang begitu berat. Apalagi calon perseorangan sangat dibutuhkan untuk memunculkan calon alternatif selain bakal calon yang diusung oleh partai politik. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan semangat Putusan MK yang mempermudah syarat pencalonan dari jalur perseorangan. Oleh sebab itu, Kami dari Koalisi Kawal Pilkada yang terdiri dari (JPPR, ICW, Kode Inisiatif, lPC, LIMA, Perludem, dan beberapa organisasi masyarakat sipil lainnya)


ULASAN Redaksi :

Donal Fariz
Peristiwa di DKI adalah anomali di kondisi perpolikan kita terutama pasca 1998, di mana parpol2 mendekati Ahok yang telah memutuskan sebagai calon independen. Pertama,  Fenomena independen adalah kritik terhadap mekanisme di partai.  Kedua, Tidak pernah ada kejelasan kenapa seorang calon terpilih oleh sebuah partai.
Fenomena calon independen ini memunculkan calon pemimpin di luar rahim partai politik. Contoh lain adalah Ridwan Kamil dan Tri Rismaharini. Jadi Fenomena revisi soal calon indipenden ini adalah untuk membendung munculnya calon calon yang lahir di luar rahim partai politik tersebut. 


Veri Junaedi
Mengibaratkan Fenomena munculnya taksi Online yang memunculkan alternatif atas taksi konvensional. Calon independen juga membuat masyarakat mempunyai pilihan atas calon pemimpinnya. Revisi UU Pilkada sebaiknya didesain untuk perbaikan jangka panjang, bukan hanya untuk menjegal Ahok semata. Menyarankan sebaiknya ambang batas dihilangkan saja.


Sunanto (JPPR)
Partai politik di tingkat pusat takut kehilangan marwahnya. Sistem pengkaderan di tingkat daerah juga tidak berjalan. Terbukti banyak calon calon pemimpin di daerah juga bukan kader partai yang bersangkutan. 

Calon independen juga sebagai auto kritik terhadap sistem pengkaderan di partai politik, yang selama ini tidak melibatkan rakyat.
Menurutnya, gagasan revisi UU atas menaikkan syarat calon independen adalah pemikiran yang emosional. Cak Narto mengharapkan partai politik jangan alergi bersaing dengan calon independen. 


Dinis
Kami sudah lakukan simulasi, bagaimana beda antara calon independen antara jumlah penduduk dan DPT.
Sudah seharusnya revisi UU Pilkada ini segera dibahas,  bukan hanya konsentasi di 1 isu saja.



Slide foto - foto selama acara


  Siaran Pers :

klik gambar untuk memperbesar

Siaran Pers

"Perihal Calon Persorangan dan Revisi UU Pilkada" 
Perludem, ICN, IPPR, Kode linisiatif, lPC,LIMA

Proses revisi UU 8/2015 tentang pemilihan umum kepala daerah, sedang dipersiapkan oleh pemerintah dan DPR menjelang penyelenggaran pilkada serentak gelombang ke dua pada tahun 2017 yang akan diselenggarakan di 101 daerah. Merujuk pada pilkada serentak 2015 yang masih memiki beberapa catatan persoalan mulai dari anggaran, pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, ambang batas pencalonan, mekanisme kampanye, sampai dengan sengketa pencalonan dan sengketa hasil pemilu, Revisi UU Pilkada menjadi suatu keniscayaan dan mendesak untuk dilakukan.

Namun demikian, menjelang proses pembahasan tersebut salah satu isu krusial yang mencolok ialah adanya wacana untuk meningkatkan ambang batas pencalonan atau syarat
 dukungan bagi bakal calon kepala daerah yang maju melalui jalur perseorangan. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan catatan persoalan hasil eveluasi penyelenggaran Pilkada 2015 lalu.


Munculnya fenomena "Calon Tunggal" dibeberapa daerah disinyalir karena meningkatnya
syarat dukungan bagi calon persorangan untuk ikut berpartisipasi dalam bursa pemilihan kepala daerah. Berdasarakn UU 8/2015 Pasal 41 ayat 1 dan 2, setiap calon persorangan yang hendak mendaftarakan diri sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota harus membuktikan dukungan masyarakat di daerahnya dengan mengumpulkan KTP yang jumlahnya 6,5% sampai dengan 10% sesuai dengan jumlah penduduk di masing-masing daerah dan tersebar di 50% kabupaten/kota bagi pilgub dan 50% kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan.

Aturan ini tentunya sangat menyulitkan bagi individual masyarakat vang hendak maju melalui jalur perseorangan dibandingkan dengan mencalonkan diri melalui jalur partai politik. Hal ini karena, calon perseorangan tidak memiliki struktur dukungan politik yang terlembagakan layaknya partai politik di level kabupaten/kota, kecamatan, sampai dengan desa. Kedua, partai politik dalam pencalonan dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak punya pola koalisi. Ketiga, parpol bergerak dengan struktur calon yang banyak (mereka bisa mengusung 3-12 calon per dapil) pada masa pemilu legislatif, dan mendapatkan bantuan keuangan dari negara pasca mereka terpilih, sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan
perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan.

Di tengah tingginya ambang batas dukungan pencalonan bagi perseorangan tersebut, muncul gugatan kepada Mahakamah Konstitusi yang kemudian dikabulkan dalam putusan MK Nomor 60/PUU.xall/2015 dan merubah basis data dukungan yang semula dari jumlah penduduk menjadi jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada pemilu terakhir. Dalam putusanya

Mahkamah berpendapat:

Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU 8/2015 sekalipun memberikan kepastian hukum, namun mengabaikon keadilan sehingga dapat menghambat pemenuhan prinsip persamaan di hadapan hukum, sebab, persentase dukungan yang dipersyaratkan bagi



Keberadaan putusan tersebut setidaknya mampu meminimalisir adanya ketidaksetaraan syarat pencalonan bagi calon kepala daerah yang maju melalui perseorangan dengan partai politik. Bagi partai politik atau gabungan partai yang akan mencalonkan dikenakan syarat jumlah perolehan kursi DPRD sebanyak 20% atau 25% dari jumlah suara sah hasil pemilu, bukan jumlah penduduk layaknya calon perseorangan. Dengan kata lain, putusan tersebut dapat kita maknai sebagai sarana untuk menciptakan ruang persaingan yang setara (equal playing battle field antara calon kepala daerah perseorangan dan partai politik, dengan memberikan kemudahan bagi calon perseorangan untuk mencalonkan. Sebagai contoh kemudahan syarat dukungan ini bagi calon perseorangan untuk mencalonkan dapat dilihat dari enam provinsi yang melangsungkan Pilkada 2015 asil
simulasi berikut:



Dari hasil simulasi tersebut dapat dilihat perbandingannya, jika merujuk pada data kependudukan yang tertuang pada UU 8/2015 Provinsi Sumatera Barat misalnya, setiap calon perseorangan harus mengumpulkan 411.910 dukungan. Tetapi pasca adanya putusan MK yang menge ser basis data dukungan ke DPT pemilu terakhir, maka bagi calon perseorangan yang akan ikut berpartisipasi dalam pilkada serentak di Sumatera Barat mengalami pengurangan syarat dukungan sebanyak 104,982 atau harus mengumpulkan dukungan KTP sebanyak 306,982.

Meski MK telah memutuskan perubahan basis data dukungan dari jumlah penduduk menjadi jumlah pemilih, pada realitasnya menjelang pilkada 2017 wacana peningkatan besaran ambang batas bagi calon perseorangan justru menguat yang tentunya akan kembali mendorong adanya ketidaksetaraan proses pencalonan dan mungkin saja akan kembali memicu hadirnya calon tunggal. Untuk itu paling tidak terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan dan DPR RI khususnya Komisi dalam melakukan revisi UU 8 /2015 antara lain:


1. Meningkatkan svarat dukungan bagi calon perveorangan dalam pilkada serentak akan kembali memicu munculnya persoalan calon tunggal dan membuat arena persaingan dalam pilkada menjadi tidak setara.

2. Dalam rangka meminimalisir munculnya persoalan calon tunggal serta menciptakan ruang persaingan yang setara, maka besaran ambang batas syarat dukungan bagi calon perseorangan sudah sepatutnya diturunkan dari 6,5% sampai dengan 10% menjadi 2% sampai dengan 5%.

3. Menghilangkan syarat kursi 20% atau 25% suara hasil pemilu bagi partai politik yang ikut ambil bagian dari munculnya fenomena calon tunggal karena memicu praktek
 "jual-beli" kursi dukungan partai sehingga menyulitkan kandidat dari partai politik dalam mencalonkan. Selain itu ketentuan ambang batas ini tidak sesuai dengan semangat pemilu serentak 2019 "concurrent elections" yang memberikan ruang persaingan yang setara dalam rangka menegaskan dan menciptkan efektivitas merintahan presidensialisme.


4. Pemerintah dan DPR sebaiknya fokus pada revisi substansial dari UU Pilkada dalam rangka menguatkan kualitas calon, kualitas partisipasi, dan juga kualitas representasi kepala daerah. Sebagai contoh keberadaan politik uang yang ketentuan larangannya ada akan tetapi tidak memiliki ketentuan sanksi. Secara lebih detail fokus revisi substansial dan UU Pilkada dapat dilihat dalam lampiran.

 


Revisi UU 8 2015 Tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah :

klik gambar untuk memperbesar














www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: