Sabtu, 12 Desember 2015

Nonton Bareng dan Diskusi Film "JOYEUX NOEL"

Nonton Bareng
dan Diskusi Film
"JOYEUX NOEL"


 

Waktu :
Jumat, 11 Desember 2015

Tempat :
Pisa Cafe, Jalan Mahakam No.11 Blok M, Jakarta Selatan

Bersama : 
  1. Martin L. Sinaga (pendeta dan pengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STTh)
  2. Ihsan Ali-Fauzi (Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina. 
  

ULASAN :

Dengan makin berkecamuknya Perang Dunia I, pada Desember 1914, Eropa dihadapkan kepada kekacauan brutal yang memaksa orang untuk membunuh atau dibunuh. Sementara pertumpahan darahterus terjadi, para prajurit di Front Barat terdesak untuk mengupayakan perdamaian. 
Melawan semua perbedaan, empat orang dari berbagai kubu (Perancis, Skotlandia,dan Jerman) membangun ikatan,memunculkan harapan kemanusiaan, dan membagikannya di malam Natal nan kudus. 

Film ini diputar Nobar Pisa untuk menyambut Natal 2015. Diangkat dari kisah nyata, filmproduksi Perancis arahan Christian Carion ini ditayangkan dalam Festival Film Cannes Perancis (2005) dan dinominasikan sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik pada Academy Award (2006) dan Golden Globes (2006). 
Film ini memenangkan penghargaan Best Feature dalam Leeds International Film Festival (2005) dan FIPRESCI Prize dalam Valladolid International Film Festival (2005).

 
Pemutaran dan Diskusi Film ini merupakan program bulanan Forum Muda Paramadina, Kafe Pisa Mahakam dan LSI Community yang memutar film-film peraih penghargaan internasional dan mengundang narasumber berkualitas sebagai pembahas. Selain menikmati aspek sinematografi, program ini diharapkan menjadi sarana untuk mempelajari gejala-gejala sosial, ekonomi, politik, budaya, dan keagamaan di seluruh dunia. Program ini gratis dan terbuka untuk umum (dengan reservasi melalui email kenobarpisa@gmail.com). 

Slide foto-foto selama acara


Catatan Martin Lukito Sinaga :

Natal untuk semua, 
dalam film "Joyeux Noel" 

Film yang disutradarai Christian Carlon ini mengisahkan peristiwa pada perang dunia ada 3 front pasukan infantri (Perancis, Jerman, Inggris) yang berada di garis kematian saling mengincar nyawa lawannya, tetapi mereka dikejutkan oleh suara tenor Nikolaus Sprink yang menyanyikan lagu Natal Malam Kudus. Sejenak tembakan terhenti. Dan terbukalah kemungkinan lain bagi para serdadu itu. 

Film ini menunjukkan tentang kemungkinan lain itu, yaitu "damai bersama musuh" di kala malam Natal. Malah suasana ini telah membuat pemimpin tentara Perancis, Letnan Audebert berkata menyimpulkan semuanya yang ia telah lalui (kepada atasannya yang kebetulan adalah ayahnya sendiri) bahwa ia lebih mengenal musuhnya yaitu para serdadu Jerman itu dibanding dengan para politisi sebangsanya yang duduk di Paris! Mendengar itu atasannya (ayahnya sendiri) menegurnya, lalu menyampaikan berita bahwa kemungkinan ia akan kena sidang disiplin. Setelah itu, Audebert berkata memberi informasi lain: bahwa sudah lahir anaknya, diberi nama Henri. Lalu atasannya, yang kini menjadi kakek itu berkata, bahwa mereka harus sintas di tengah perang yang tak terpahami ini, demi anak yang baru lahir tadi. Agar "natalitas bisa mengalahkan "mortalitas.

Pipa Suara/Bagpipe Skotlandia 

Film yang diolah dari kisah nyata tahun 1914 ini juga mendapat kekuatannya dari karakter yang melankolis dan religius, dari seorang Pendeta Anglikan, Palmer. Namun dia pulalah yang menjadikan kisah Natal menjadi ajang konflik makna. Imam itu mendampingi dua anak muda bersaudara yang antusias berperang. "At least something happens in our lives", seru mereka. Tapi sang kakak akhirnya terpukul karena sang adik Jonathan tertemhak mati. Di tengah keadaan itulah Palmer menemukan makna natal, saat ia terduduk di tengah bungker perang itu, lalu mulai bernyanyi, la pun, setelah tentara dari ke 3 negara itu melakukan gencatan senjata, berkotbah tentang damai dan Natal. Dan itu membuatnya menemukan tempat iman dan tempat pesar Natal yang sesungguhnya di tengah kemerosotan didu kei iddaan iman akibai kekejaman perang.

Di samping itu, lagu lagu dari pipa suara (bagpipe) Skotlandialah yang membantu menyibak kekuatan iman di tengah kegilaan perang itu. Film ini bertambah memikat oleh bunyi bunyi khas yang keluar dari tabung kerbat suara itu. Dari situ terdengar lagu tradisional khas "Scottish" dreaming of home nyanyian yang bahkan serdadu musuhpun bisa menghafalnya, karena begitu rindunya mereka mengakhiri perang yang tak pernaih ada penjelasannya itu. Dari lagu dan kerinduan pulang itulah, lagu lagu rohani natal mendapat kekuatannya untuk dinaikkan, dan puji pujian atas pesta Natal tidak lagi sekadar rutin saja diserukan, tapi hendak melanjutkan apa yang tengah bergejolak dalam diri manusia. 

Jelaslah kalau begitu mengapa orang berhari Natal ada yang berlangsung dalam hidup yang sedemikian ruwet dan pedihnya, tetapi kesenyapan Natal telah membuka ruang untuk merenung, untuk menangis untuk meratap, tapi juga untuk bertindak lain. Tampaknya arus makna yang sedemikianlah yang membuat pendeta Palmer tadi bersitegang dengan Uskup atasannya, sehingga ia memilih meninggalkan nosisi ideologis gerejanya demi Natal yang ia temukan yang juga ditemukan oleh ratusan tentera di front tempur tiada ampun itu. Uskup itu berkotbah bahwa Kristus membawa pedang, tetapi sebaliknya ia menemukan bersama pasukan infantri itu, justru Kristus membawa damai. 

Natal dan Kita 

Maka benarlah bahwa Natal (atau festival agama agama lainnya), bukanlah sesuatu yang turun dari langit lantas kita manut dan rutin merayakannya, Natal adalah kemungkinan rohani yang manusia ajukan di tengah berbagai ketidakmungkinan dalam hal Natal, yang hendak ditetapkan ialah bahwa ada yang hisa lahir di tengah rutinnva kematian.

Ada yang menarik dicatat tentang Natal dalam khasanah rohani kekristenan, sebab ia bukan festival yang utama dalam agama Kristiani, dan model perayaannya pun diambil dari adat istiadat kuno Romawi (lalu sepanjang abad diperkaya dengan berbagai ornamen, juga sampai "Santa Klaus" baju merah ciptaan Coca Coia itu). Kekristenan secara mendasar hadir dan bertolak dari suaiu peristiwa testimoni bahwa Yesus yang disalibkan karena tuduhan makar oleh penjajahan Romawi itu, ternyata di mata para muridnya dibangkitkan oleh Allah. Atas pokok iman ini, maka penerjemahanmya ke dalam irama hidup manusia yang menjadikan Natal sedemikian besar dirayakan. Artinya iman akan kebangkitan tadi hendak dihubungkan dengan siklus hidup manusia, sehingga perayaan perayaan lokal ikut mewarnai Natal itu sendiri. Jadi, Natal adalah pesta yang hendak mengikutsertakan serba festival yang ada di tengah masyarakat yang sedang mencari jalan menemukan tunas kehidupan. Makanya simbol simbol "biologis" yang menandakan siklus hidiin manusia menyertai nesta natal hayi yang rapuh, pohon yang hijau, dan domba domba. Ini semua hendak membuka ruang kemungkinan bagi manusia akan jalan kehidupan dan kecambah yang masih tersedia. 

Makanya dalam film itu, bahkan para tentara (yang bergerak di antararlesingan ma n in Makasankan merind ikan tina rintak asih sehingoa lagu Sabastian Bach. Aria, Bwv S08 dinyanyikan di tangsi militer Bist du bei mir geh ich mit Freuden zum Sterben und zu meiner Ruh Ach, wie vergnügt war so mein Ende es druckten deine schönen rande mir die getreuen Augen zu (Akankah engkau besertaku? Aku akan pergi dengan sukacita. untuk mati dan beristirahat Oh, betapa akan riangnya akhir ku kalau sentuhan tanganmu terlihat oleh mataku, yang akan tertutup rela ini!) 

Jadi sesuatu yang lembut yang menyentuh, yang kiranya mereka rasakan dan sc pun mereta sedang diuung ujung istirahat abadinya dinanti nantikan. Keadaan ini yang membuat kenyataan rohani yaitu tunas kehidupan, atau Natal itu sendiri, sungguh diharapkan. Dan film ini berhasil mengungkapkan apa itu natal yang sesungguhnya, yang kiranya bisa dirayakan oleh semua orang, melampaui ruang Kristiani tentunya. Film ini berhasil menayangkan apa itu Natal bagi semua orang yang matahatinya masih terarah pada tunas tunas hidup.



www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: