Rabu, 20 Januari 2016

The INDONESIAN FORUM Seri 35 : "Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Isu Ketenagakerjaan"

The INDONESIAN FORUM
Seri 35:
"Masyarakat Ekonomi ASEAN
dan Isu Ketenagakerjaan”


Waktu :

Selasa, 19 Januari 2016

Tempat :
Ruang Diskusi The Indonesian Institute,
Gedung Pakarti Center Lantai 7, Jl. Tanah Abang III No 23-27. Jakarta Pusat

Fokus Diskusi : 
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah berlangsung sejak akhir tahun ini bermaksud untuk mentransformasi kawasan ASEAN menjadi satu pasar dan basis produksi. Dengan karakteristik utama terdapat kemudahan berpindah bagi tenaga kerja terdidik (ASEAN, 2008 dalam Sugiyarto dan Agunias 2014). 
Buat pekerja terdidik pasar bersama ini menjadi peluang yang menarik. Namun, bagaimana bagi pekerja yang tidak terdidik? Mengacu pada data Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) terdapat sejumlah 144 juta angkatan kerja di Republik ini, dimana sekitar 90 persen dari angkatan kerja tersebut tidak sampai pendidikan tinggi. Dari 90 persen hanya 20 persen lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan sebagian besar hanya mengenyam Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Pertama. Data ini konsisten dengan permasalahan kualitas pekerja kita. 
Perdana (2014) mempermasalahkan kesenjangan keterampilan bukan saja soal lamanya seorang pekerja menempuh pendidikan formal. Banyak pekerja yang masih terkendala kurangnya soft skill maupun keterampilan adaptasi mengoperasikan teknologi baru. Sementara itu, Sugiyarto dan Aguinas (2014) memaparkan visi pendiri ASEAN tentang pergerakan tenaga kerja memang berbeda dari praktek kawasan lain, seperti Eropa maupun Caribbean Community (CARICOM). Uni Eropa lebih mengedepankan pada kebebasan bergerak (free flow) yang artinya membuka kesempatan seluas-luasnya bagi warga Eropa untuk bergerak, tinggal hingga mencari pekerjaan tanpa melihat keahlian yang dimiliki. Juga berbeda dari kawasan lain di Karibia, dimana otoritas lima belas negara di kawasan tersebut memberikan kebebasan visa bagi kalangan terdidik. 
ASEAN lebih mengutamakan fasilitasi pergerakan yang lebih bebas (“freer” flow) melalui implementasi 2 kebijakan: pertama, Mutual Recognition Agreement (MRAs) di masing-masing negara dan kedua kerangka kerja kualifikasi ASEAN (ASEAN Qualification Framework). Dengan demikian, ASEAN lebih realitis ketimbang Uni Eropa namun kurang ambisius dibandingkan CARICOM. Hal ini dapat dipahami perkembangan ASEAN dari perjanjian politik kawasan yang mendorong stabilitas kawasan, kemudian berkembang menuju satu pasar bersama berbeda dari Uni Eropa yang bergerak dari Masyarakat Ekonomi Eropa menjadi Kesatuan politik dalam bentuk Federasi Eropa. 
Tantangan bagi kawasan juga Indonesia diantaranya: 
pertama, dari sisi migrasi intra-ASEAN didominasi oleh pekerja-pekerja tidak terdidik sekitar 87 persen dari total migrasi orang sekawasan. Selain pekerja yang tidak terdidik tadi, terkonsentrasi hanya pada beberapa koridor diantaranya 5 koridor utama: Myanmar ke Thailand, Indonesia ke Malaysia, Malaysia ke Singapura, Laos ke Thailand, dan Kamboja ke Thailand (MPI, 2014). 
Kedua, perkembangan yang mendorong mobilitas pekerja terdidik lambat dan tidak seimbang karena sulitnya mengadaptasi kebijakan domestik, serta aturan-aturan bagi provisi MRAs, termasuk didalamnya kurangnya dukungan politik dan juga dukungan publik terhadap MRAs maupun kerangka kerja kualifikasi ASEAN. 
Kemenaker berupaya mempersiapkan kompetensi pekerja melalui Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) maupun Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Selain itu, Kemenaker juga mempersiapkan balai latihan kerja guna mempersiapkan pekerja Indonesia terutama mereka yang memiliki kesulitan akses terhadap pengembangan diri. 
Selain dua tantangan diatas, kita masih menemui keengganan pengusaha memperluas bisnis mereka, utamanya mengembangkan merek lokal menuju regional brand. Yang artinya pengusaha berekspansi bisnis ke negara-negara di kawasan ASEAN. Hal ini diutarakan oleh Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani seperti dikutip Jakarta Post (Kamis, 14 Januari 2016). Di sisi publik, survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan hanya 25 persen yang mengetahui dan memahami MEA dengan kurang dari 18 persen yang memahami MEA artinya peluang bagi mencari pekerjaan yang lebih menjanjikan di kawasan. 
Berkaca dari persoalan-persoalan diatas, The Indonesia Institute danSuaraKebebasan.org mengadakan The Indonesian Forum pertama di tahun 2016 mengangkat tema “Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Isu Ketenagakerjaan”. 

Pengantar diskusi oleh :
Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan RI) 

Narasumber :
  • Ninasapti Triaswati (Board The Indonesian Institute dan Ekonom Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia) 
  • Muhamad Ikhsan (Redaktur Pelaksana SuaraKebebasan.org) 

Moderator :
Arfianto Purbolaksono (Peneliti The Indonesian Institute) 

Penyelenggara : 
The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII) 
Raja Juli Antoni, Ph.D (Direktur Eksekutif)


ULASAN : 

Ninasapti Triaswati 
Apakah harus khawatir menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN? Manfaat positipnya :
1. memperluas pasar; 
2. lapangan kerja; 
3. peningkatan nilai tambah. 
Yang paling dipersoalkan masuknya tenaga kerja asing ke Indonesia. Aturan-aturan apa yang harus disiapkan pemerintah ? Tantangan :
1. persaingan produk semakin ketat di pasar dalam negeri; 
2. persaingan pekerja semakin ketat (pariwisata, perdagangan, jasa kesehatan/perawat, keuangan [akuntan]). 
Kebijakan non-tariff misalnya penguasaan bahasa Indonesia; pengalaman kerja; Target keberhasilan--> surplus neraca pembayaran dan neraca pekerja. Neraca perdagangan Indonesia terhadap ASEAN di 2015 surplus. 
Rekomendasi :
1. meningkatkan kualitas TKI; 
2. Memperkuat Sistem Informasi Pekerja; 
3 Memperkuat kebij Non-Tariff bagi produk dan pekerja Indonesia. 
Malaysia dianggap unggul di sektor pendidilkan. 

Hanif Dhakiri 
Masyarakat menganggap MEA seperti bendungan yang dibuka dan pagar pembatas dua pasukan dibuka. Di Malaysia ada 2 juta TKI, di Timteng 3 juta, di Hong Kong 150 ribu. MEA bentuk konsolidasi ASEAN untuk memperbaiki daya saing dan kerjasama dalam menghadapi kekuatan pasar global. Pemerintah harus didukung masyarakat, asosiasi usaha, akademisi, dan stake holders lainnya. 
Kita harus menyepakati isu ketenagakerjaan menjadi isu utama bukan isu pinggiran. 2/3 pekerja Indonesia hanya lulusan SMP. Rata-rata lulusan kelas 2 SMP. Kita perlu terobosan apa yang harus dilakukan sekarang, yaitu pelatihan kerja. Dari kemampuan TKI mampu. Misal untuk grading tembakau orang Temanggung bisa menentukan mutu tembakau dengan hanya membauinya. Quality of service TKI sudah OK. Mampu tapi tidak bersertifikasi, sehingga belum dianggap kompeten. 
Pemerintah fokus pada 
1. peningkatan kemampuan 
2. pelatihan keterampilan 
3. pembatasan Tenaga Kerja Asing. 
Kita tidak perlu khawatir berlebihan terhadap TKA, selama membawa manfaat bagi ekonomi kita. Masing-masing sektor didorong meningkatkan kompetensi. Kerangka Kualifikasi Indonesia belum ada. Kemenaker berfungsi sebagai Koordinator dan konsolidator. Semua Kementerian terkait dalam menghadapi MEA. Misal Permen. Sertifikasi tenaga kerja menjadi dasar pengakuan kompetensi, melibatkan Lembaga Sertifikasi Profesi. Sertifikasi harus Accessible. 
Kita tetap optimis menghadapi MEA. Bukan produk unggulan yang kita utamakan tapi kegiatan unggulan. Baginya, MEA lebih merupakan konsolidasi ASEAN sebagai sebuah region. Jadi di satu sisi ada persaingan di antara sesama negara ASEAN, selain juga ada kerjasama. Sehingga diharapkan ASEAN nantinya lebih punya kekuatan, menghadapi kekuatan-kekuatan global. Selain soal-soal terkait ekonomi, juga ada hal-hal terkait masalah sosial dan politik. 

Muhamad Ikhsan 
Point of no return dalam menghadapi MEA. Pemerintah perlu lebih terlihat misal dalam penanganan TKA ilegal. Indonesia menghadapi masalah border dengan negara tetangga. Public engagement yang masih rendah dalam menghadapi MEA. Seorang pedagang punya banyak dagangan yang bisa dijalankan; sedang seorang pekerja hanya punya satu pekerjaan . "Paul Krugman".


Slide foto-foto selama acara


www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: