Minggu, 07 Desember 2014

Diskusi "Pertamina di bawah Ancaman Privatisasi dan Hutang Luar Negeri"

Diskusi dan Konferensi Pers
"Pertamina di bawah Ancaman Privatisasi
dan Hutang Luar Negeri"


klik untuk memperbesar


Waktu :
7 Desember 2014

Tempat :
di Dapur Selera, Tebet, Jakarta Selatan, Minggu

Pembicara:
  • Salamuddin Daeng (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)
  • Farizal Yusra (Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia/KSPMI)
  • Dani Setiawan MSi. (Koalisi Anti Hutang)
  • Adhie M. Massardi (Koordinator Indonesia Bersih, Mantan Juru Bicara Presiden Abdurahman Wahid)
Moderator:  
Karyono



ULASAN :

Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) menolak keras adanya wacana privatisasi PT Pertamina (Persero) yang sempat digulirkan oleh Direktur Utama Pertamina yang baru diangkat, Dwi Soetjipto dan juga Menteri BUMN Rini Soemarno. Mereka mengaku, perjuangan menolak privatisasi itu, demi mempertahankan kedaulatan migas di tangan anak bangsa, bukan soal kesejahteraan.
"Kita hanya menguasai 15 persen. Kita harus memperjuangkan ini menjadi tata kelola di tangan anak bangsa," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia (KSPMI) Farizal Yuzra.
Secara pragmatis, kata Farizal, sebenarnya pekerja migas, dalam hal ini pekerja Pertamina bisa saja membiarkan Pertamina diprivatisasi. Artinya, sebagian besar saham Pertamina atau keseluruhan dimiliki oleh asing. Penolakan yang terus-menerus mereka lakukan, akan menjadi daya tawar untuk meminta kenaikan upah.
"Tapi kan tidak. Biarlah seperti sekarang (milik negara). Ini konteksnya bukan soal kesejahteraan. Kami sangat memahami bisnis ini. Oleh karena itu, migas harus dikelola oleh negeri ini," tukas Farizal.
Dia menegaskan, pihaknya sudah mengendus semangat dan arah privatisasi sejak adanya letter of intent atau surat pernyataan maksud antara International Monetary Fund (IMF) dan pemerintah Indonesia, pada 20 Januari 2000 silam. Selang, 15 tahun kemudian, privatisasi semakin menguat.
Dia mengatakan, ini mengancam kedaulatan migas Indonesia. Dia memberikan contoh, jika migas Indonesia dikuasai asing.
"Kita pernah punya pengalaman buruk, pada saat migas itu, tidak dikuasai anak bangsa. Pada waktu, RI ingin merebut Irian Barat (Papua), semua kendaraan tempur Indonesia, mangkrak di Makassar. Karena, negara ini kehilangan (power) menguasai bahan bakar. Pada saat itu, dikuasai Shell. Yos Sudarso gugur, setelah migas tidak dikuasai anak bangsa. Itulah awalnya, Bung Karno melakukan nasionalisasi. Tapi entah mengapa, sekarang memberikan penguasaan asing yang lebih besar," cetusnya. 




Sementara Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) menilai, penunjukan Dwi Soetjipto sebagai direktur utama baru PT Pertamina (Persero) tidak tepat memimpin BUMN sekelas Pertamina. AEPI mengatakan, sosok Dwi, dapat membahayakan masa depan BUMN Pertamina, dan 100 persen sahamnya, akan di-privatisasi.
Penilaian itu berdasarkan dari rekam jejak Dwi yang juga mantan Direktur PT Semen Indonesia (Persero) ini, saat memimpin perusahaan semen itu.
"Dwi merupakan sosok yang sangat berpengalaman di dalam melakukan privatisasi PT Semen Indonesia, hingga perusahaan ini dikuasai 49 persen sahamnya oleh pihak swasta dan sebagian besar (oleh) asing," kata aktivis AEPI Salamuddin Daeng .
Tidak hanya menjadikan PT Semen Indonesia (Persero) sebagai 'korban privatisasi' Dwi, tapi Dwi juga dinilai membuat hutang PT Semen Indonesia meningkat drastis, setelah dia melepas jabatannya di PT Semen Indonesia. "Dwi Soetjipto meninggalkan Semen Indonesia dengan utang dan kewajiban sebesar Rp11,476 triliun," ujar Salamuddin.
Salamuddin menegaskan, keahlian Dwi dalam hal privatisasi atau divestasi, tidak sejalan dengan visi Kabinet Kerja Jokowi-JK. Apalagi, rencana dan minat privatisasi, disampaikan secara gamblang, oleh Menteri BUMN Rini Soemarno, sesaat setelah pengangkatan Dwi.
"Rini Soemarno memerintahkan Pertamina untuk melakukan listing terhadap utang-utang Pertamina dengan menerbitkan obligasi rupiah, agar tercatat di pasar modal (PT Bursa Efek Indonesia/BEI)," tukas dia.
Daeng menduga, listing tersebut sebagai bentuk refinancing, terhadap utang luar negeri Pertamina. Artinya, Pertamina hendak menjual kembali utang-piutang mereka di BEI, dengan harapan penjualan tersebut, guna memuluskan pembayaran utang luar negerinya.
Daeng mengatakan, pihaknya juga menduga, tidak hanya pembayaran utang luar negeri, tetapi bisa saja digunakan untuk kepentingan lain. "Namun, yang pasti, cara ini akan meningkatkan utang Pertamina, dari dalam dan luar negeri. Padalah utang luar negeri Pertamina, sekarang telah berada pada situasi membahayakan," pungkasnya. 


sumber metrotv


Slide foto-foto selama acara



www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: