Senin, 29 September 2014

Pemutaran dan Diskusi Film "The Act of Killing" karya Joshua Oppenheimer

Pemutaran dan Diskusi Film
"The Act of Killing" 
karya Joshua Oppenheimer
.

Waktu:
Senin, 29 September 2014, Pukul 12.00-17.00 WIB

Lokasi:
Gedung Utama Lantai 3, Kampus 1 Universitas Tarumanagara
Jln. Letjen S. Parman no.1, Grogol - Jakarta Barat


Narasumber :
  • Yosep Stanley Adi Prasetyo (Anggota Dewan Pers, Dewan Pakar Perhimpunan INTI)
  • Hilmar Farid (Sejarawan UI)
Moderator :
Kurnia Setiawan (Dosen FSRD Untar, Wakil Ketua Dept. Pendidikan & Kebudayaan Perhimpunan INTI)
 

Penyelenggara:
Pengurus Pusat GEMA INTI (Generasi Muda Indonesia Tionghoa) 
Program Studi Desain Komunikasi Visual FSRD Untar (Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Tarumanagara) 

ULASAN :

Moderator Kurnia Setiawan yang juga sebagai perwakilan dari INTI sebagai tuan rumah membuka acara dengan mengatakan bahwa negara harus berani membuka sejarah Indonesia seperti apa.
"Diskusi bertujuan agar para penonton tahu seperti apa sejarah kelam Indonesia sampai hari ini. "Setiap negara pasti punya masa kelam," ujarnya.




Narasumber pertama, Yosef Stanley Adi Prasetyo mengatakan bahwa  film The Act of Killing ini merekam dari sudut pelaku. "Jarang ada film yang merekam gambar dan mencari pengakuan dari sudut pelaku, biasanya dari sudut korban," ujar Yosep. "Saya kira film ini satu-satunya yang menggunakan sudut pelaku," tambahnya.
Menurut Yosep, negara tidak pernah menghukum para pembunuh hingga saat ini. "Bahkan dalam film ada staf ahli menpora yang seolah-olah dia adalah hero, melakukan tugas suci, membunuhi orang-orang komunis. Orang lupa bahwa pembunuhan adalah kejahatan, tindak pidana, " ujar Yosep.
Anggota Dewan Pers ini tidak setuju pernyataan militer Orde Baru bahwa konflik masa itu adalah konflik horisontal. Padahal "lawannya tidak berdaya," kata Yosep.
Yosep juga tidak setuju pernyataan Menkopolhukam Djoko Suyanto bahwa pembunuhan 65 adalah legitimate, untuk menyelamatkan negara akibat PKI memberontak. Padahal dalam film tersebut tidak terlihat adanya pemberontakan. "Cerita para pelakunya sama sekali tidak cerita tentang pemberontakan," lanjut Dewan Pakar Perhimpunan INTI tersebut.
Film ini memang banyak menampilkan ormas Pemuda Pancasila (PP) di kota Medan sebagai ormas tempat bernaung Anwar Congo, si mantan algojo dalam film tersebut.
Namun begitu, Yosep juga menambahkan bahwa pola pembantaian di Sumatera Utara berbeda dengan di Jawa. "Pembunuhan di Jawa lebih banyak dilakukan oleh kelompok agama, dan organisasi masyarakat yang mendapat dukungan dari militer," ujarnya.



Sementara  pembicara lain, Hilmar Farid memberikan pandangannya kenapa kita perlu dan melihat kembali, bahkan perlu memikirkan peristiwa yang telah berlalu hampir 50 tahun lalu. Hilmar menjawabnya "karena sebagian masalah yang muncul karena peristiwa itu, sampai sekarang masih ada bersama kita."
Menurut Sejarawan Universitas Indonesia ini, orang2 yang terlibat kekerasan pada masa lalu menjadi dan masih menjadi bagian dari kekuasaan dan kekuatan ekonomi.
Sebagai seorang sejarawan, Hilmar berpendapat bahwa peristiwa 1965 dengan pembunuhan massalnya, adalah sebuah momen di mana prinsip-prinsip yang paling dasar diabaikan.
Menurut Hilmar, saat itu Partai Komunis Indonesia adalah partai yang terbuka dan legal. Namun adanya kecurigaan bahwa PKI  ingin merebut kekuasaan. "Partai politik mana yang tidak ingin mengambilalih kekuasaan ?" tanyanya.
Hilmar sekali menekankan bahwa mengolah dan memahami secara bijak untuk mencari jalan keluar dari peristiwa 1965 ini adalah karena "peristiwa ini dampaknya bukan pada orang-orang yang hidup pada masa lalu. Korban sesungguhnya adalah rakyat. Sampai hari ini," tuturnya.
Hilmar lalu mncontohkan peristiwa-peristiwa aktual yang sedang terjadi di Bogor (Gereja Yasmin-red), maupun di Sampang (kasus penganut Syiah-red). "Karena ada pihak-pihak yang merasa lebih besar daripada konstitusi," lanjut Hilmar.



Diskusi juga menghadirkan teleconference melalui skype dengan tamu misteri yang dinamakan sebagai Anonymous, yaitu dari pihak pembuat film.
Dituturkannya bahwa memang sengaja film tidak ditawarkan ke Badan Sensor Film, karena sudah tahu tidak bakal lolos sensor. Jadi film hanya diputar secara gratis di komunitas-komunitas saja, sampai masuk dalam nominasi Piala Oscar. "Film ini juga diunggah di youtube. Dan penontonnya hampir 700.000 sampai 1 juta orang sudah menonton film ini," tambahnya.




Slide foto-foto selama acara


VIDEO ACARA :


https://www.youtube.com/watch?v=jSi0OtQ0pQI



VIDEO TAMU ANONYMOUS :  


https://www.youtube.com/watch?v=Xo4IjYXbKic



Materi Yosep Stanley Adi Prasetyo:

klik gambar untuk memperbesar












www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: