Jumat, 18 Juli 2014

Diskusi Terbuka "Quick Count, Etika Lembaga Riset dan Tanggung Jawab Ilmuwan"

Diskusi terbuka dengan tema 
“QUICK COUNT, ETIKA LEMBAGA RISET 
dan TANGGUNG JAWAB ILMUWAN"

Waktu:
17 Juli 2014, 14.00-17.30

Lokasi:
Aula Nurcholis Madjid, Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto Jakarta Selatan. 

Penyelenggara:

THE INDONESIAN INSTITUTE, Center For Public Policy Research (TII)

Pembicara:
  1. Daniel Dhakidae (Pemimpin Redaksi Majalah Prisma)
  2. Burhanudin Muhtadi (Direktur Indikator Politik Indonesia)
  3. Hamdi Muluk (Persepi, Dosen Psikologi UI)
  4. Hermawan Sulistyo (Profesor Riset LIPI)
  5. Anas Saidi (Peneliti Senior LIPI)

Moderator: Mohamad Sobary, Budayawan


Semula direncanakan dihadiri juga oleh Karlina Supelli (Pakar Filsafat), Bestian Nainggolan (Peneliti Litbang Kompas), dan Hanta Yudha (Direktur Eksekutif Poltracking Institute). Namun ketiganya berhalangan hadir.




ULASAN :

Daniel menyesalkan DPR yg memanggil RRI. Daniel menyatakan bahwa RRI  harus dibela.
Menurut Daniel, ada 2 solusi tindakan, yakni:
- non litigation : asosiasi lembaga survey mengambil sendiri tindakan. Dan ini telah dilakukan oleh Persepi.
-litigation auditing: bila perbuatan lembaga survey tersebut sudah masuk ranah kriminal,  sehingga polisi yang harus bertindak,  dengan  tuduhan pembohongan publik.
Daniel menyatakan bahwa quick count berfungsi untuk  mengontrol  KPU.
Selain memuji Persepi, seperti halnya Burhanudin Muhtadi, Daniel juga menegaskan bahwa kalau hasil KPU berbeda dengan quick count, "maka masalah ada di KPU" kata Daniel yang disambut tepuk tangan penonton.


Anas Saidi menegaskan bahwa quick count adalah sederhana sekali, cerminan suatu kerja ilmiah.
"Cuma ada menyangkut 2 hal, yakni melihat metodologi, disamping masalah sampling error" demikian Anas.
Persoalan menjadi rumit adalah karena kesalahan orang yang melakukan quick count tersebut.
"Karena itu ini adalah persoalan etika," lanjut Anas lagi. 


Hermawan Sulistyo atau biasa dipanggil Kiki juga menyatakan bahwa quick count adalah  pekerjaan sederhana. Namun seorang ilmuwan memerlukan etika.
"Intelektual harus mengabdi pada kebenaran dan negara" kata Kiki. "Pemerintah boleh salah, namun negara tidak" kata Kiki lagi.
Kiki menyatakan kekuatirannya bahwa kasus ini akan membuat tidak adanya lagi kepercayaan pada  ukuran-ukuran parametrik.


Burhanudin Muhtadi berpendapat bahwa semakin besar jenjang pemeriksaan hasil pemilu, maka akan  semakin besar pula potensi kecurangan.
"Belum lagi bila bicara soal integritas penyelenggara," lanjut Burhan.
Menurut Burhan, karena quick count dilakukan oleh tangan pertama, maka potensi kecurangan bisa diminimalisir.
Burhan menyarankan bahwa perlu adanya insentif bila lembaga survey masuk dalam suatu asosiasi.
Burhan juga mengkritisi media. Walaupun quick count dilakukan oleh lembaga-lembaga bermasalah, namun pers tetap saja meliputnya.
"Media juga berperan memberikan insentif dan disintensif dalam publikasi lembaga-lembaga survey yang bermasalah" lanjut Burhan lagi.
Burhan mengusulkan agar lembaga yang berhak mengadakan quick count harus masuk dalam asosiasi.

Senada dengan Burhan, Mohamad Sobary juga turut mempermasalahkan media yang juga suka mewawancarai koruptor, dan lawyer-lawyer pembela koruptor.
"Media turut merusak rasa nyaman masyarakat," kata Sobary.


Slide foto-foto selama acara


VIDEO ACARA :


https://www.youtube.com/watch?v=GoPV4hw2pyo


Makalah Daniel Dhadikae:

klik gambar untuk memperbesar








Rangkuman Diskusi:

klik gambar untuk memperbesar

Pembahasan:

1. Hamdi Muluk:
Persepi adalah perhimpunan para pelaku survei dan opini publik. Persidangan etik dilakukan oleh dewan etik. Dewan etik saya pastikan independen, karena anggota dewan etik yang memiliki lembaga survey maka mereka harus digantikan oleh orang luar.
Kami bersidang dikarenakan adanya “kericuhan” dalam hasil hitung cepat. Kubu Prabowo Hatta mengklaim mendapatkan kemenangan berdsarkan dari 4 lembaga. Sedangkan di sisi kubu Jokowi-JK didukung oleh 8 lembaga. Kericuhan ini juga diperparah dengan pengetahuan masyarakat yang lemah tentang survei maupun hitung cepat. Akhirnya inilah yang menimbulkan kebingungan di masyarakat.
Menyikapi kericuhan ini, maka persepi harus mengambil peranannya. Melihat hitung cepat ini sebenarnya sangat sederhana, yaitu dengan melihat teknik sampling dalam ilmu statistik. Untuk audit saya kira juga sangat mudah, karena terlihat jejak-jejaknya. Persepi mengambil keputusan bahwa anggota yang terlibat harus diaudit.
Dewan etik memeriksa semua data, baik hard dan soft dan bisa terverifikasi. Untuk anggota persepi yang lain yaitu Puskaptis dan JSI, maka mereka tidak hadir. Penolakan mereka karena dewan etik dianggap tidak objektif. Padahal anggota dewan etik yang melakukan hitung cepat dikeluarkan dulu dari anggota dewan etik, maka kami bentuk gugus tugas dewan etik. Menyikapi perbedaan ini, maka 2 anggota persepi yang tidak ingin di audit (Puskaptis dan JSI) maka hasil hitung cepatnya tidak dapat dipertanggung jawabkan. Menurut saya ke depan lembaga dan asosiasi lembaga survei harus bisa lebih diberdayakan.

2. Daniel Dakhidae
Melihat perbedaan hasil hitung cepat ini sangat memalukan. Karena hitung cepat sangat sederhana. Dalam pikiran awam teknik sampling. Sampling hitung cepat bersifat homogen. Semakin besar maka semakin presisi.
Hitung cepat tidak boleh ada dua hasil. Jika terjadi maka ada yang salah. Lembaga survei yang busuk akan membusukkan dunia survei/polling. Daya hitung cepat sangat kuat kepastiannya. Karena hal ini seharusnya sangat simple dilakukan nya. Kebenaran di publik ini harus diluruskan, bukan karena lebih banyak lembaga menghasilkan yang sama seperti 8 dan 4 lembaga. Tetapi harus dilihat dari samplingnya.
Solusinya adalah pertama non litigation forensic audit itulah yang sudah dilakukan oleh Persepi. Kedua litigation forensic audit yaitu mendorong polisi untuk menginvestigasi untuk memeriksa lembaga survei tersebut. Karena ini membohongi publik. Kemudian untuk menentukan lembaga tetap hidup adalah kompetensi dan etik keilmuwan.

3. Anas Saidi
Hitung cepat berdasarkan cermin realitas, tidak membutuhkan tafsir. Pelacakannya sangat jelas. Ilmuwan itu harus berpihak jangan netral. Ilmuwan bukan hanya pemotret realitas, tp harus merubah realitas. Seharusnya lembaga penelitian seperti contohnya LIPI, UI, UGM harus menyongsong untuk merubah realitas. Ilmuwan itu merujuk pada etika publik, memihak kebenaran, dan berani mengambil resiko politik.

4. Hermawan Sulistyo
Semua orang ketika tidak percaya hasil hitung cepat atau survei maka orang akan larinya ke dukun. Hitung cepat itu seperti pekerjaan orang bodoh karena seperti kalkulator saja. Kenapa hal ini jadi diributkan
Dalam dunia akademik tidak ada sample yang merepresentatif. Namun yang sangat penting ketepatan sampling dan sebarannya. Kemudian Etika, seorang ilmuwan adalah scientis setengah tukang. Intelektual tukang plus-plus kompetensi. Intelektual harus mengabdi pada kebenaran dan Negara. Sedangkan scientist (ilmuwan pemerintah) mengabdi pada rezim.

5. Burhanuddin Muhtadin
Hitung cepat diadakan untuk mengontrol kecurangan. Hitung cepat dilakukan untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan pemilu. Untuk memprediksi pemenang pemilu itu hanya bonus.
Melihat kondisi hari ini, hitung cepat adalah alat control KPU. Bukan KPU yang mengkontrol pemilu. Hitung cepat lebih autentik data, karena berasal dari data tangan pertama yaitu KPPS dan saksi. Hitung cepat juga dapat dilakukan juga untuk pengawasan penyelenggaraan pemilu.
Etika lembaga riset harus dirilis sumber dananya juga dan prosedur kita ikuti. Peneliti boleh berpartisan. Namun peneliti tidak boleh merubah metodologi.

Forum Diskusi

1. Fajar Lubis
Hitung cepat adalah prediksi, otomatis dapat disimpulkan juga dapat berbeda dgn yang real count. Pernyataan Burhan tentang hasil QC lebih baik daripada realcount?

Burhan:
Pernyataan yang tadi ada sampaikan, tu tidak sesuai pernyatan saya ketika di Hotel Century. Subtansinya adalah saya tidak medelegitimasi KPU. Seharusnya KPU berterima kasih karena memiliki data pembanding.

Daniel:
Hasil hitung cepat bukan hasil resmi KPU. Hitung cepat merupkan prediksi kecil pendek jaraknya antara TPS dan telepon/ server tabulasi data. Namun hitung cepat sangat tepat. Saya berani mengatakan jika data KPU berbeda dengan hitung cepat maka KPU nya yang bermasalah.

2. Suroso
Mengapa bisa berbeda hasil yang disampaikan tim prabowo. Padahal ada professor machfud md disana.

Hermawan: saya tidak mengetahui kompetensi machfud. Profesor itu bukan gelar tapi jabatan. Hal ini yang perlu diluruskan di public.

Anas: lembaga yang mengacau bisa saja mengacau KPU.

Daniel: saya khawatir ini dengan kerancuan di masyarakat bahwa ada lembaga penelitian dengan konsultan politik. Lembaga penelitian dan konsultan politik klo dilakukan dengan benar, maka akan benar pula.
Burhan: permasalahan regulasi saya lihat jika regulasi diperketat maka tidak ada insentifnya bagi kita. Karena jika ada lembaga yg mengeluarkan data “abal-abal” sulit untuk diminta pertanggung jawabannya.
Kondisi saat ini adalah kubu prabowo yang profesornya sebenarnya mengetahui kekalahannya, tapi kerancuan yang terjadi adalah game plan seperti yang dikatakan Espinal.
Hamdi: jika kita melihat audit kemarin yang dilakukan Persepi adalah sesuatu yang sangat sederhana. Jika sederhana saja tidak bisa pertanggungjawabkan maka hal ini tidak dapat ditolerir lagi. Padahal simple saja dengan bagaimana pencarian data tersebut.

sumber




www.NOMagz.com