Selasa, 13 Mei 2014

INDIKATOR : Menguji Split-ticket Voting dan Karakteristik Personal Capres

Indikator Politik Indonesia (INDIKATOR) telah melakukan survei  nasional untuk menguji split-ticket voting dan karakteristik personal capres.


Hasil survey tersebut dipresentasikan dalam acara press-conference pada:
Hari/Tanggal:  Selasa, 13 Mei 2014, pukul: 12.30 WIB
Tempat: Kantor Indikator Jl. Cikini V No. 15A Menteng

Para narasumber adalah:
  1. Burhanuddin Muhtadi (Direktur Eksekutif Indikator)
  2. Maruarar Sirait (Ketua DPP PDI Perjuangan)                    
  3. Viva Yoga (Sekjen Gerindra)
  4. Marwan Jafar (Ketua DPP PKB)
  5. Harjanto Thohari (Sekjen Partai Golkar)
  6. Yunarto Wijaya (Pengamat Politik Charta Politika)
klik untuk memperbesar

Dalam pemilu presiden, split-ticket voting atau  dukungan konstituen yang tidak linear antara keputusan elit partai mendukung capres tertentu dengan pilihan basis konstituennya kerap terjadi. identifikasi pemilih terhadap partai yang rendah (party ID), membuat pilihan massa lebih dipengaruhi oleh karakteristik personal calon presiden. Benarkah pilihan massa lebih dipengaruhi persepsi mereka tentang karakteristik personal capres ketimbang keputusan elit partainya masing-masing?
 
Slide foto-foto selama acara


 VIDEO ACARA :



MAKALAH LENGKAP :

klik gambar untuk memperbesar

Latar Belakang
Perilaku pemilih dalam pemilihan presiden dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam konteks Indonesia, sistem kepartaian yang masih lemah dan identifikasi pemilih terhadap partai yang rendah (party ID), membuat pilihan massa lebih dipengaruhi oleh karakteristik personal calon presiden (Liddle dan Mujani 2007). Rendahnya party ID mendorong gejala deparpolisasi atau party dealignment. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai.
Deparpolisasi juga mendorong maraknya split-ticket voting, yakni dukungan konstituen yang tidak linear antara keputusan elit partai dengan basis pemilihnya. Dalam pemilu presiden atau kepala daerah, banyak konstituen partai yang memilih calon yang tidak didukung elit partainya sendiri. Apakah pemilihan presiden 2014 nanti akan ditandai oleh gejala split-ticket voting. Lantas, di tengah fenomena deparpolisasi, sejauhmana pengaruh karakteristik personal bakal calon presiden dalam mempengaruhi pilihan pemilih?
Untuk itu dilakukan survei nasional untuk melihat hubungan antara persepsi pemilih terhadap karakteristik personal calon presiden dengan pilihan terhadap calon presiden. Survei post-election ini dilakukan Indikator Politik Indonesia berkat kerjasama dengan Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI) dan Australian National University (ANU).
Metodologi Survei
•Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
•Sampel: Jumlah sampel 1.220. Berdasar jumlah sampel ini, diperkirakan margin of error sebesar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%.
•Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya dari 10 responden
•Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.
•Waktu wawancara lapangan 20 – 26 April 2014.
- See more at: http://indikator.co.id/news/details/2/49/Laporan-Rilis-Survei-13-Mei-2014-Split-ticket-Voting-Karakteristik-Personal-dan-Elektabilitas-Capres-#sthash.wwD483BW.dpuf
 xxxxx

Latar Belakang
Perilaku pemilih dalam pemilihan presiden dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam konteks Indonesia, sistem kepartaian yang masih lemah dan identifikasi pemilih terhadap partai yang rendah (party ID), membuat pilihan massa lebih dipengaruhi oleh karakteristik personal calon presiden (Liddle dan Mujani 2007). Rendahnya party ID mendorong gejala deparpolisasi atau party dealignment. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai.
Deparpolisasi juga mendorong maraknya split-ticket voting, yakni dukungan konstituen yang tidak linear antara keputusan elit partai dengan basis pemilihnya. Dalam pemilu presiden atau kepala daerah, banyak konstituen partai yang memilih calon yang tidak didukung elit partainya sendiri. Apakah pemilihan presiden 2014 nanti akan ditandai oleh gejala split-ticket voting. Lantas, di tengah fenomena deparpolisasi, sejauhmana pengaruh karakteristik personal bakal calon presiden dalam mempengaruhi pilihan pemilih?
Untuk itu dilakukan survei nasional untuk melihat hubungan antara persepsi pemilih terhadap karakteristik personal calon presiden dengan pilihan terhadap calon presiden. Survei post-election ini dilakukan Indikator Politik Indonesia berkat kerjasama dengan Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI) dan Australian National University (ANU).
Metodologi Survei
•Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
•Sampel: Jumlah sampel 1.220. Berdasar jumlah sampel ini, diperkirakan margin of error sebesar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%.
•Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya dari 10 responden
•Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.
•Waktu wawancara lapangan 20 – 26 April 2014.
- See more at: http://indikator.co.id/news/details/2/49/Laporan-Rilis-Survei-13-Mei-2014-Split-ticket-Voting-Karakteristik-Personal-dan-Elektabilitas-Capres-#sthash.wwD483BW.dpuf
Latar Belakang
Perilaku pemilih dalam pemilihan presiden dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam konteks Indonesia, sistem kepartaian yang masih lemah dan identifikasi pemilih terhadap partai yang rendah (party ID), membuat pilihan massa lebih dipengaruhi oleh karakteristik personal calon presiden (Liddle dan Mujani 2007). Rendahnya party ID mendorong gejala deparpolisasi atau party dealignment. Deparpolisasi adalah gejala psikologis yang membuat publik kehilangan kepercayaan terhadap partai.
Deparpolisasi juga mendorong maraknya split-ticket voting, yakni dukungan konstituen yang tidak linear antara keputusan elit partai dengan basis pemilihnya. Dalam pemilu presiden atau kepala daerah, banyak konstituen partai yang memilih calon yang tidak didukung elit partainya sendiri. Apakah pemilihan presiden 2014 nanti akan ditandai oleh gejala split-ticket voting. Lantas, di tengah fenomena deparpolisasi, sejauhmana pengaruh karakteristik personal bakal calon presiden dalam mempengaruhi pilihan pemilih?
Untuk itu dilakukan survei nasional untuk melihat hubungan antara persepsi pemilih terhadap karakteristik personal calon presiden dengan pilihan terhadap calon presiden. Survei post-election ini dilakukan Indikator Politik Indonesia berkat kerjasama dengan Yayasan Pengembangan Demokrasi Indonesia (YPDI) dan Australian National University (ANU).
Metodologi Survei
•Populasi survei ini adalah seluruh warga negara Indonesia yang punya hak pilih dalam pemilihan umum, yakni mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.
•Sampel: Jumlah sampel 1.220. Berdasar jumlah sampel ini, diperkirakan margin of error sebesar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%.
•Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertugas untuk satu desa/kelurahan yang terdiri hanya dari 10 responden
•Quality control terhadap hasil wawancara dilakukan secara random sebesar 20% dari total sampel oleh supervisor dengan kembali mendatangi responden terpilih (spot check). Dalam quality control tidak ditemukan kesalahan berarti.
•Waktu wawancara lapangan 20 – 26 April 2014.



Temuan Survei Nasional IndikatorApril 2014
 Temuan Survei Nasional IndikatorApril 2014








Dalam pertanyaan terbuka (top of mind) dan semi terbuka, Jokowi, Prabowo, dan Aburizal, masuk 3 besar.
Dalam pertanyaan semi terbuka, elektabilitas Jokowi mulai naik kembali setelah turun cukup tajam menjelang pileg 9 April, namun masih dibawah elektabilitas tertingginya di bulan Maret 2014.
Sementara, elektabilitas Prabowo dalam dua bulan ini terus menguat.
Melihat kondisi ini, hanya Jokowi dan Prabowo yang akan bersaing ketat di pemilihan nanti. Aburizal Bakrie yang mengumpulkan elektabilitas terbanyak ketiga posisinya cukup jauh di bawah kedua calon ini.





Hingga saat ini, Jokowi masih mendapat dukungan terbesar dibanding yang lain.
Namun dalam satu bulan terakhir, selisih dukungan antara Jokowi dengan pesaing terkuat, Prabowo, semakin mengecil.
Figur calon wakil pres berpengaruh, namun hingga saat ini tampak bahwa calon presiden masih menjadi faktor kunci dalam meraup dukungan.
Dalam berbagai simulasi tiga pasangan capres, range dukungan masing-masing pasangan tidak jauh dari nilai basisnya (dukungan tiga nama capres tanpa pasangan).







 Hanya 14.9% yang merasa dekat dengan partai. Terutama kepada PDIP dan Golkar.
Pilihan kepada capres di antara pemilih yang mempunyai party-ID dengan yang tidak mempunyai tidak memperlihatkan perbedaan berarti .
Sementara, di antara yang mempunyai party-ID, pemilih yang dekat kepada PDI Perjuangan sudah cukup solid memilih Jokowi. Begitu pula Gerindra yang solid memilih Prabowo.
Sementara party-ID kepada Golkar tidak cukup kuat untuk mendukung Aburizal Bakrie.




Jokowi unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Jujur/bisa dipercaya/amanah, Perhatian pada rakyat, dan Mampu memimpin.
Sementara Prabowo unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Tegas dan Berwibawa.
Kesimpulan
Hingga April 2014, elektabilitas Jokowi masih teratas, disusul Prabowo di peringkat kedua dengan selisih sekitar 15%. Baru pemilih PDI Perjuangan dan Gerindra yang sudah solid mendukung capres yang sudah ditetapkan partainya masing-masing. Straight-ticket voting mampu menjelaskan dukungan yang paralel antara keputusan PDIP mengusung Jokowi sebagai capres dan Gerindra yang resmi mendukung Prabowo. Pemilih partai-partai lain mengalami split-ticket voting. Hal ini disebabkan belum tersosialisasikannya keputusan elit terhadap capres tertentu, atau belum adanya kejelasan arah koalisi.
Selain itu, dalam sistem kepartaian dan identifikasi psikologis terhadap partai (party ID) yang lemah, membuat pilihan basis massa partai rentan berbeda dengan keputusan elit dalam mendukung capres tertentu. Persepsi pemilih terhadap karakteristik personal capres terbukti sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pemilihan presiden. Jokowi unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Jujur/bisa dipercaya/amanah, Perhatian pada rakyat, dan Mampu memimpin. Sementara Prabowo unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Tegas dan Berwibawa.


sumber INDIKATOR

vvvvv


Unduh laporan lengkap materi presentasi Survei Nasional Indikator April 2014 di bawah ini:


  • Jokowi unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Jujur/bisa dipercaya/amanah, Perhatian pada rakyat, dan Mampu memimpin.
  • Sementara Prabowo unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Tegas dan Berwibawa.

Kesimpulan
Hingga April 2014, elektabilitas Jokowi masih teratas, disusul Prabowo di peringkat kedua dengan selisih sekitar 15%. Baru pemilih PDI Perjuangan dan Gerindra yang sudah solid mendukung capres yang sudah ditetapkan partainya masing-masing. Straight-ticket voting mampu menjelaskan dukungan yang paralel antara keputusan PDIP mengusung Jokowi sebagai capres dan Gerindra yang resmi mendukung Prabowo. Pemilih partai-partai lain mengalami split-ticket voting. Hal ini disebabkan belum tersosialisasikannya keputusan elit terhadap capres tertentu, atau belum adanya kejelasan arah koalisi.
Selain itu, dalam sistem kepartaian dan identifikasi psikologis terhadap partai (party ID) yang lemah, membuat pilihan basis massa partai rentan berbeda dengan keputusan elit dalam mendukung capres tertentu. Persepsi pemilih terhadap karakteristik personal capres terbukti sangat mempengaruhi perilaku pemilih dalam proses pemilihan presiden. Jokowi unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Jujur/bisa dipercaya/amanah, Perhatian pada rakyat, dan Mampu memimpin. Sementara Prabowo unggul di kelompok pemilih yang lebih mementingkan kriteria Tegas dan Berwibawa.



Unduh laporan lengkap materi presentasi Survei Nasional Indikator April 2014


Tidak ada komentar: