Jumat, 10 Oktober 2014

Ngopi (Ngobrol Pintar) : Urgensi Keterlibatan Generasi Muda Mengawal Pilkada Langsung

Ngopi (Ngobrol Pintar): 
Urgensi Keterlibatan Generasi Muda
Mengawal Pilkada Langsung


klik untuk memperbesar
klik untuk memperbesar

Waktu :
Jumat/10 Oktober 2014,17.30-20.30 WIB
 

Tempat: 
Kedai Tjikini, Jalan Cikini Raya no. 17, Jakarta Pusat.

MC: Sam Willy.

Moderator: Riana.

Pemapar materi:

  1. Iman Waskito (Mahasiswa Ilmu Politik, Freie Universitaet Berlin) “Perbandingan Demokrasi Langsung dan Representatif dalam Pemilihan Kepala Daerah”
  2. Titi Anggraini (Direktur Eksekutif, PERLUDEM): “Benarkah Demokrasi Kita Telah Mati dengan Disahkannya UU Pilkada?”
  3. Donny Ardyanto (Peneliti, KID) “Ancaman Oligarki Politik dalam UU Pilkada”
 .
ULASAN :

Oligarki Biang Masalah Pilkada Tak Langsung

Masyarakat sipil merasakan bagaimana sakitnya dibohongi dan dikhianati para elite politik yang menguasai parlemen, terutama setelah mereka berhasil mengegolkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah. Oligarki parpol telah menunjukkan kekuatannya. Generasi muda harus sadar dengan fenomena ini dan saatnya mulai melawan. Oligark adalah individu yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi. Sementara oligarki adalah politik pertahanan kekayaan dari kaum oligark.

Demikian benang merah diskusi ”Urgensi Keterlibatan Generasi Muda Mengawal Pilkada Langsung” yang digelar Transparency International Indonesia, di Jakarta, Jumat (10/10). Tampil sebagai pembicara peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Donny Ardyanto; Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini; dan mahasiswa Ilmu Politik Freie Universitaet, Berlin, Iman Waskito.

Donny Ardyanto mengatakan, kekalahan dalam penentuan sistem pemilihan kepala daerah sebenarnya bukan akhir dari demokrasi. Masih ada esensi demokrasi yang mendasar dan harus segera direbut masyarakat sipil. Jika masyarakat masih merasa kalah dan dikhianati sejak penetapan UU Pilkada, hal itu sah-sah saja. Namun, harus segera disadari, kesedihan itu tidak ada gunanya jika tidak diiringi kesadaran baru soal sistem politik Indonesia.

Satu hal yang harus segera dilawan adalah fakta makin berjayanya oligarki di sistem politik Indonesia, terutama yang bercokol di parpol-parpol. ”Oligarki dari dulu ada, tetapi bisa dikontrol Soeharto. Ketika reformasi, oligarki masih ada, tetapi tak ada yang mengontrol hingga kini,” kata Donny.



Titi Anggraini mengatakan, sesungguhnya alasan para elite menolak pilkada langsung oleh rakyat hanya karena target politik yang dibungkus berbagai argumentasi. ”Fakta, argumentasi, dan data bisa ditarik ulur sesuai selera,” kata Titi. Masyarakat sipil sempat berprasangka baik terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. ”Antara percaya dan tidak percaya karena ada elite politik yang berjanji, tetapi dengan mudah mengingkarinya. Ini bukan sekadar drama, ini tragedi. Ini ironi dari demokrasi kita,” ungkap Titi.

Sementara itu, para peneliti di Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jumat (10/10), menyerukan pentingnya upaya untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Memanasnya kondisi politik belakangan ini merupakan dampak dari memudarnya etika dalam berpolitik. Syamsuddin Haris, profesor riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menuturkan, jabatan sebagai wakil rakyat saat ini cenderung hanya sebatas sebutan dan bukan menjadi semangat politisi. Sejumlah kader partai politik, baik yang tergabung di Koalisi Merah Putih maupun Koalisi Indonesia Hebat, cenderung mengabaikan etika berpolitik.


Setelah pengesahan UU Pilkada beberapa waktu lalu hingga pemilihan kembali dilakukan oleh DPRD, Haris mengingatkan, sekarang mulai muncul wacana meniadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Hal itu bertentangan dengan semangat demokrasi yang dibangun ketika Reformasi pada 1998-1999. Kemunduran demokrasi dikhawatirkan terjadi.

Selama lebih dari 32 tahun berkuasa, Orde Baru tercatat sebagai sistem pemerintahan yang otoriter. Reformasi 1998 gagal mengganti karakter dan personel partai politik di lembaga legislatif. Politisi yang mendukung pilkada melalui DPRD, ataupun mewacanakan pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR, tidak memahami substansi demokrasi.


sumber rumahpemilu

Slide foto-foto selama acara

www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: