Rabu, 01 Oktober 2014

Diskusi Politik: “Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi”

Diskusi Politik:
“Membahas Arsitektur 
Kabinet Jokowi”

 
Waktu : 
Selasa, 30 September 2014, 19.00 – 21.00 WIB
 

Tempat :
Ballroom Wisma Proklamasi, Jalan Proklamasi No. 41 Jakarta
 

Pembicara :
  1. Philips J. Vormonte, Ketua Departemen Politik & Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
  2. Ulil Abshar Abdalla, Ketua Departemen Kajian & Kebijakan Partai Demokrat
  3. Wandy N. Tuturoong, Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi JKW-JK
Moderator: 
Budi Adiputro (Youth Freedom Network)

Penyelenggara:
Freedom Institute – FNF Indonesia


PENDAHULUAN :

Arsitektur Kabinet Jokowi
 

Pada tanggal 15 September lalu, Joko Widodo atau lebih dikenal dengan nama Jokowi, Presiden terpilih pada Pilpres 2014, telah mengumumkan arsitektur kabinet yang akan dipimpinnya. Pertanyaannya, Bagaimana kita menyikapi postur kabinet Jokowi ini?
Inilah pertanyaan yang paling menyibukkan publik kita saat ini. Dalam kampanye Pilpres kemarin, Jokowi membuat sejumlah komitmen yang “appealing” atau menarik bagi masyarakat sipil yang merupakan basis pendukung dia, terutama masyarakat sipil perkotaan. Misalnya: Jokowi berjanji akan merancang kabinet profesional dengan komposisi yang didominasi kalangan profesional. Dia juga berjanji untuk membuat struktur kabinet yang ramping. Koalisi yang ia bangun juga koalisi yang “tanpa syarat”. Maksudnya, tanpa syarat bagi-bagi kursi kabinet.
Jokowi juga, dan ini menarik, membuka usulan nama-nama menteri dari publik. Ini adalah tindakan yang tanpa preseden dalam sejarah politik kita. Sejumlah kalangan dalam masyarakat sipil membuat inisiatif untuk menyusun daftar figur yang dianggap layak untuk menduduki pos-pos tertentu. Salah satunya adalah usulan yang dibuat oleh tim relawan Jokowi, atau media online seperti Detik.com.



Perkembangan semacam ini membawa janji segar bagi publik: bahwa Jokowi akan memulai tradisi “baru” dalam penyusunan kabinet. Tentu saja ini adalah hal yang sangat positif. Tetapi pertanyaannya: Apakah janji-janji ini akan terpenuhi? Bisa tidak politik yang ia bangun “koalisi tanpa syarat” ini berjalan? Bagaimana strategi Jokowi dalam pembagian kekuasaan (power sharing) di antara para pendukungnya? Bagaimana strategi pemerintahannya berhubungan dengan pihak legislatif yang dikuasai oleh koalisi lawan politiknya?
Nah, pertanyaan-pertanyaan inilah yang dikupas dalam Diskusi Politik Freedom Institute kerja sama dengan FNF Indonesia.

 


ULASAN :

Jakarta – Baru-baru ini pasangan presiden terpilih, Jokowi-JK mengumumkan komposisi struktur kabinetnya yang menyatakan porsi 18 menteri yang akan diisi oleh profesional dan 16 menteri berasal dari professional-partai dan dengan jumlah kementerian sebanyak 34, sama jumlahnya seperti pemerintahan SBY. Kenyataan tersebut membuat masyarakat bertanya-tanya tentang janji Jokowi yang pada saat kampanye, jika terpilih sebagai presiden akan membangun kabinetnya secara professional, tanpa syarat serta membangun kabinet yang ramping. Namun sebagian besar publik menilai angka komposisi kabinet Jokowi tidak sejalan dengan janji-janjinya pada saat kampanye.
Demikianlah topik diskusi yang diselenggarakan pada Selasa, 30 September 2014 di Ballroom Wisma Proklamasi oleh Freedom Institute dengan FNF Indonesia dengan judul “Membahas Arsitektur Kabinet Jokowi-JK” dengan mengundang narasumber diantaranya Philips Vermonte (Peneliti CSIS), Ulil Abshar Abdhalla (Ketua Department Kajian dan Kebijakan DPP Partai Demokrat) dan Wandy Tuturoong atau Binyo (Pokja Lembaga Kepresidenan Tim Transisi JKW-JK).
Philips, selaku narasumber pertama menjelaskan tentang realitas politik Indonesia yang menganut kombinasi sistem presidensialisme-multipartai yang memiliki komplikasi yang cukup berat, selain memiliki tugas untuk menjalankan pemerintahan, eksekutif juga memiliki kewajiban untuk mendamaikan diri dengan parlemen guna memperlancar arah kebijakannya, sehingga tak heran apabila dalam 10 tahun pemerintahan, SBY membangun maximum-winning coalition yakni dengan merangkul banyak partai politik dalam membangun susunan kabinetnya. Hal berbeda coba dilakukan oleh presiden terpilih, Jokowi guna membangun minimum-winning coalition. Namun nampaknya upaya Jokowi untuk membangun minimum-winning coalition menuai jalan terjal berupa tantangan di parlemen yang cukup berat.
Philips menilai niatan Jokowi untuk membangun koalisi ramping adalah sesuatu yang baik, menurutnya kekuasaan tidak seharusnya dibagi-bagi, biarkan yang menang untuk menjalankan pemerintahan sedangkan yang kalah pemilu sebagai pengontrol. Namun nampaknya idealisme yang dibangun Jokowi berbenturan dengan realitas politik yang akhir-akhir ini semakin jauh dari tradisi normatif politik. Misalnya perkembangan UU MD3 yang secara pendekatan normatif seharusya partai yang menang pemilu akan menjadi pimpinan DPR, tetapi setelah UU tersebut direvisi pemenang pemilu tidak akan secara otomatis akan menjadi pimpinan DPR. Hal ini yang kemudian membuat partai politik merasa tidak akan takut kalah dalam pemilu, selama mampu mencapai parliamentary threshold (PT). Sehingga dalam revisi UU MD3 tidak ada lagi semacam punishment dan reward bagi partai politik. Logikanya adalah apabila partai politik gagal mencapai visi dan misinya maka rakyat akan memberikan punishment dengan tidak memilihnya lagi di pemilu yang akan datang, begitupun sebaliknya. Tetapi dengan direvisinya UU MD3 maka budaya tersebut sudah tak berlaku lagi. Sehingga tidak penting menang atau kalah pemilu, karena pada akhirnya yang menang pemilu pun juga tak otomatis akan menjadi pimpinan DPR, asalkan lolos PT maka peluang untuk menjadi pimpinan DPR menjadi seimbang.
Selain itu, Philips mengatakan bahwa dinamika tantangan Jokowi setidaknya ada dua, tantangan pertama yakni DPR yang terpolarisasi antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat, sehingga dalam parlemen akan terjadi perdebatan dengan tensi tinggi, terlebih jumlah anggota Koalisi Merah Putih di Parlemen jumlahnya lebih banyak sehingga bisa saja parlemen menjadi gerakan oposisi yang kuat terhadap eksekutif. Hal ini ditenggarai juga oleh kegagalan Jokowi dan PDIP dalam membangun komunikasi politik dengan partai-partai lainnya dan tantangan kedua adalah dukungan PDIP yang setengah hati mendukung Jokowi. Hal tersebut terlihat dari lemahnya PDIP dalam membangun komunikasi politik dalam memperkuat parlemen, bahkan PDIP sebagai partai pemenang pemilu justru terlihat sangat defensive, padahal sebagai partai pemenang, PDIP seharusnya bisa lebih proaktif. “Mungkin karena sudah kelamaan menjadi partai oposisi yakni 10 tahun, sehingga tak tahu apa yang seharusnya diperbuat saat menjadi partai penguasa” ujar Philips. Selain itu Jokowi diprediksi akan mengalami kesulitan dalam membangun konsolidasi kekuasaannya selama 1-2 tahun ke depan.
Dalam melihat kondisi kekinian, Philips menyarankan untuk dibuat Undang-Undang tentang penetapan Undang-Undang. Yang dimaksudkan Philips untuk menghindari terjadinya drama politik kepentingan guna menyongsong periode berikutnya. Termasuk usul tentang tidak diijinkannya DPR mengadakan rapat pembahasan UU setelah pemilu., kalaupun harus dibahas maka biarkan DPR periode berikutnya yang membahasnya, hal ini penting guna menghindari efek polarisasi pasca pemilu. Misalnya drama tentang RUU Pilkada yang menurutnya sudah dibahas sejak beberapa tahun yang lalu, dengan macam argumentasi yang berbeda-beda dengan finishing yang tak selesai namun setelah pemilu 2014 justru RUU ini kembali di perdebatkan dengan polarisasi yang terbentuk pasca pilpres. Partai yang dulunya pro pilkada langsung secara tiba-tiba kini berubah menjadi kontra hanya karena persoalan polarisasi dan dendam pasca pilpres, sehingga perdebatan tak lagi menyangkut hal substansial tetapi lebih pada perebutan kepentingan.
Narasumber kedua, Ulil mengatakan bahwa harapan publik terhadap Jokowi sangat besar, termasuk untuk menghapus budaya ologarki dan kartelisasi, seperti yang dicoba untuk merampingkan kabinet dengan melibatkan sedikit partai, Namun nampaknya upaya Jokowi tersebut akan berefek pada minimnya dukungan parlemen, sehingga eksekutif di prediksi akan mengalami jalan terjal, karena kurang mendapatkan dukungan parlemen, baik dari hutung-hitungan matematis maupun dari hitung-hitungan legacy pasca UU MD3 direvisi. Terkait dengan RUU Pilkada, Ulil, mewakili Partai Demokrat menyatakan sikapnya dengan mendukung pilkada langsung dengan sepuluh syarat, seperti yang diajukan di fraksi, namun Ulil menyayangkan tentang fondasi argumentasi yang muncul di masyarakat bahwa persoalan Pilkada langsung atau tidak langsung itu adalah persoalan Jokowi atau Prabowo.
Ulil memaparkan bahwa kecenderungan masyarakat tentang pilkada sebelum Pemilu 2014 adalah mendukung pilkada tidak langsung, termasuk rekomendasi MUNAS PBNU di Cirebon tahun 2012. Namun saat ini perdebatan tentang pilkada langsung atau tidak langsung lebih mengarah pada Jokowi factor dan Prabowo factor, sehingga perdebatan tak lagi menyangkut hal yang substansial. Dengan polarisasi tersebut, Partai Demokrat hadir di tengah-tengah guna mengurangi polarisasi yang berlebih dengan mendukung pilkada langsung dengan sepuluh syarat, meskipun ide tersebut ditolak.
Narasumber ketiga, Binyo, menyatakan bahwa Jokowi bisa mengelola pemerintahannya secara jangka panjang dengan memperkuat lembaga kepresidenan dalam fungsi legislasi. Hal ini penting guna memperkuat presiden di hadapan parlemen. Hal tersebut dikarenakan fungsi legislasi yakni tentang prolegnas yang diajukan dan dibacakan DPR di setiap tahunnya tetapi yang berhasil disahkan kurang lebih hanya setengahnya dari target RUU yang masuk dalam prolegnas. Berdasarkan pengalaman tersebut maka yang harus diperkuat adalah fungsi legislasi di kantor kepresidenan, karena hal itu yang selama ini harus diperkuat. Hal tersebut sesuai dengan realitas politik yang terjadi seperti pertarungan parlemen yang bias pilpres. Sehingga penguatan fungsi ini adalah perlu, karena antara eksekutif dan legislatif akan adu kuat.
Selain itu yang hal harus diperkuat adalah melalui fungsi kontrol. “Sebetulnya fungsi kontrol sudah dilakukan oleh pemerintahan SBY melalui UKP4, namun fungsi tersebut terlihat seperti tak bekerja”, ujar Binyo. Penguatan fungsi kontrol juga harus ada dalam lembaga kepresidenan untuk menghindari tumpang tindih kementerian, sehingga tidak ada kementerian yang bekerja sendiri-sendiri, tetapi harus dibawah kontrol presiden, dan presiden harus didampingi oleh orang-orang yang berfikiran generalis. Bukan berarti Jokowi ingin menghapus UKP4 tetapi harus ditambah fungsinya, yakni fungsi partisipasi guna menerima aspirasi masyarakat sipil (re: LSM).
Tantangan Jokowi dalam masa kerjanya nanti bukan hanya bersifat teknis yang menyangkut prioritas kerja di lapangan, tetapi Jokowi juga harus mampu mendamaikan parlemen yang terpolarisasi pasca pilpres, ini yang kadang dilupakan oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu yang gagal menjadi center of party dalam parlemen, meskipun PDIP menang dalam pileg tetapi realitas di gedung dewan PDIP tak lebih seperti raja tanpa mahkota, inilah efek dari gagapnya komunikasi politik PDIP yang bisa saja berakibat fatal bagi berlangsungnya pemerintahan kedepan. 



Slide foto-foto selama acara


VIDEO ACARA :
 

https://www.youtube.com/watch?v=n770rctCJU8 



www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: