Jumat, 10 Oktober 2014

Diskusi LIPI "Selamatkan Demokrasi Indonesia"

Diskusi 
"Selamatkan Demokrasi Indonesia"

klik untuk memperbesar
klik untuk memperbesar
Waktu:
Jumat, 10 Oktober 2014, jam 10:00-12:00.
 

Tempat:Ruang Media Center. Gedung Sasana Widya Sarwono LIPI. 
Lantai 1. Jl. Gatot Subroto. Jakarta.

Pembicara:
  • Syamsudin Haris;
  • Ikrar Nusa Bhakti;
  • Hermawan sulistyo;
  • Asvi Marwan Adam.
Moderator: Irene Gayatri.

Sambutan: Elizabeth.


ULASAN :

Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsuddin Haris mengatakan demokrasi Indonesia saat ini mengalami kemunduran.
Kemunduran demokrasi Indonesia disebabkan antara lain adanya keinginan sebagian politikus di Senayan mengubah mekanisme pilkada langsung menjadi pilkada oleh DPRD. Keinginan itu terwadahi dengan disahkannya UU Pilkada melalui DPRD, yang didukung oleh partai-partai koalisi pro-Prabowo Subianto.
"Kemunduran juga disebabkan faktor lainnya," kata Haris dalam diskusi politik "Selamatkan Demokrasi Indonesia" di LIPI, Jakarta Selatan, Jumat, 10 Oktober 2014. 

Ada juga munculnya wacana pemilihan presiden selanjutnya akan dipilih oleh MPR. "Padahal, pilkada dan pilpres langsung merupakan prestasi demokrasi Indonesia," ujar Haris. 
Menurut Haris, apabila ternyata pemilihan kepala daerah dan presiden dilakukan oleh DPRD dan MPR, maka hal ini jelas bertentangan dengan tujuan reformasi 1998. "Jelas mengkhianati reformasi," kata Haris, "Sebab, tujuan reformasi adalah untuk mengembalikan kedaulatan rakyat yang saat itu diambil oleh rezim Orde Baru."
Pengamat politik LIPI Ikrar Nusa Bakti mengatakan esensi demokrasi adalah rakyat ikut serta dalam menentukan kebijakan terkait dengan negara dan bangsanya. "Rakyat berhak memilih siapa calon pemimpinnya secara langsung," ujar Ikrar.
Menurut Ikrar, rakyat lebih baik menentukan kebijakan dibandingkan dengan para anggota di Senayan. "Karena itu, demokrasi untuk pilkada dan pilpres langsung harus tetap dipertahankan," kata Ikrar.




Profesor Riset Bidang Perkembangan Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo mengibaratkan proses demokrasi di parlemen belakangan ini bak aksi persekongkolan "penjahat".
"Misalnya, ada 30 orang di ruangan ini, lalu yang berkomplot ada 20 orang. Nah, yang 20 orang penjahat ini bersekongkol dalam voting menyebut tembok warnanya biru, padahal coklat. Itulah yang terjadi di DPR sekarang," kata Hermawan dalam Diskusi Publik Selamatkan Demokrasi Indonesia yang diselenggarakan LIPI di Jakarta, Jumat (10/10/2014), seperti dikutip Antara.
Dia mengatakan, demokrasi persekongkolan seperti itu mengkhawatirkan. Terlebih lagi, menurut dia, mereka yang dapat dikategorikan sebagai "penjahat" di DPR punya jumlah cukup besar.
"Mungkin di DPR kalau isinya 30 orang, 'penjahat'-nya itu 31 orang," seloroh Hermawan.
Hermawan menegaskan, LIPI merasa perlu bersuara terkait proses demokrasi yang belakangan terjadi di parlemen. Peneliti LIPI, menurut dia, sama sekali tidak sedang terlibat dalam sebuah langkah politik praktis.
"Kalau peneliti mau jadi politisi, lepaskan dulu jabatannya sebagai peneliti, itu boleh," ujar dia.
Sebelumnya, proses pemilihan pimpinan DPR RI dan MPR RI dilakukan dengan proses voting. Dengan proses seperti itu, suara mayoritas yang diperhitungkan. Akhirnya, fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih bersama Fraksi Partai Demokrat menyapu bersih jajaran kursi pimpinan DPR RI dan MPR RI periode 2014-2019.



Sementara pengamat sejarah Asvi Warman mengatakan proses politik yang berkembang saat ini merupakan sisa-sisa dari rezim Orde Baru (Orba), terbukti bagaimana sisa-sisa kekuatan tersebut dimunculkan, salah satunya tentang pengajuan nama mantan Presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional. Usulan tersebut diajukan Partai Golongan Karya (Golkar) yang juga mendapat dukungan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Asvi juga menyinggung penggunaan lambang negara Garuda Indonesia sebagai maskot sebuah partai, dengan bubuhan warna merah mirip dengan lambang negara Indonesia, untuk mencerminkan nasionalisme. Asvi menilai tidak seharusnya lambang negara digunakan, karena sulit memakainya sebagai ukuran pemakai lambang itu lebih memiliki rasa nasionalisme sedangkan yang di luar itu tidak. Demikian juga tentang penamaan kelompok atau koalisi yang diberi nama Koalisi Merah Putih, yang jelas-jelas merupakan warna bendera kebangsaan Indonesia.
Menurut Asvi, lambang negara seyogianya tidak dijadikan maskot sebuah partai politik, karena itu merupakan lambang atau simbol negara.


sumber tempo
sumber kompas
sumber satuharapan

Slide foto-foto selama acara

www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: