Senin, 21 September 2015

Media Briefing "Peran dan Kewenangan Kejaksaan RI Didalam Rancangan KUHAP Kedepannya"

Media Briefing
"Peran dan Kewenangan 
Kejaksaan RI 
Didalam Rancangan 
KUHAP Kedepannya" 


Waktu : 
Minggu, 20 September 2015 

Tempat :
Bakoel Kofie Jl. Cikini Raya No. 25, Menteng, Jakarta Pusat 


Narasumber :
  • Dr. Jan Maringka, S.H., MH (Kepala Biro Hukum dan Luar Negeri Kejaksaan RI)
  • Erna Ratnaningsih, SH., LL.M (Wakil ketua Komisi Kejaksaan RI) 
  • Adery Ardhan Saputro S.H (Peneliti MaPPI FHUI) 

Penyelenggara : 
Koalisi untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana 


ULASAN :

Bahwa Kejaksaan mempunyai peranan yang amat penting dalam rangka penegakan hukum (law enforcement). Peranan yang begitu penting mengarahkan jaksa selaku penuntut umum dibebankan tanggung jawab sebagai pengendali perkara dari awal penyidikan sampai dengan tahapan eksekusi putusan. Secara historis pandangan ini disebut dengan asas dominus litis. Namun dengan kedepannya ada RKUHAP maka peran Kejaksaan akan menarik untuk dibahas. Bagaimana fungsi Kejaksaan sebagai pengendali perkara di berbagai tahapan sistem peradilan pidana. Sebagai pengendali perkara, Kejaksaan dapat melakukan check and balances terhadap tindakan penyidik. Sehingga, hal ini dinilai dapat mengurangi potensi penyidikan yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil yang tergabung didalam berinisiatif untuk mengadakan . 

Slide foto-foto selama acara



Press Release :

klik gambar untuk memperbesar

Press Release : 

Kejaksaan Sebagai Pengendali Perkara” Kasus salah tangkap yang menimpa seorang tukang ojek, Dedi beberapa waktu menjadi sorotan tersendiri. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa hal tersebut dapat terjadi hingga masuk proses persidangan? Selain kasus Dedi, masih banyak kasus-kasus lainnya yang sebenarnya tidak layak sidang. Dalam sistem peradilan pidana, Kejaksaan memiliki peran yang sangat sentral, dimana Kejaksaan berperan mulai dari hulu hingga hilir penangan suatu perkara pidana. Karenanya, Jaksa dianggap sebagai Pengendali Perkara atau Dominus Litis. Kedudukannya sebagai pengendali perkara ini semakin terlihat pada keputusan untuk melanjutkan perkara ke tahap persidangan atau tidak merupakan wewenang penuh dari Jaksa. Akan tetapi, peran Jaksa sebagai Pengendali Perkara saat ini telah direduksi, khususnya semenjak KUHAP dibentuk. 

Menurut Jan S. Maringka, konsep diferensiasi fungsional yang dianut dalam KUHAP membatasi Kejaksaan untuk terlibat lebih lanjut dalam proses awal penganan suatu perkara atau penyidikan yang sekarang dipegang oleh Kepolisian. Padahal keterlibatan Jaksa semenjak awal proses penanganan perkara sangatlah dibutuhkan. Lebih lanjut, menurut Jan S. Maringka, dalam ketentuan PBB bahwa Jaksa bertanggungjawab dari awal penyidikan hingga Eksekusi. 

Konsep diferensiasi fungsional tersebut berimbas pada kualitas dari surat dakwaan dan tuntutan yang disusun oleh Jaksa guna dibawa ke persidangan. Terbukti ada 5 perkara yang diputus bebas oleh Mahkamah Agung dikarenakan alat bukti yang dianggap tidak cukup atau adanya cacat prosedural berupa penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian guna mendapatkan alat bukti. Selain itu, menurut Erna Ratnaningsih, Komisi Kejaksaan telah menerima sekitar 1800 laporan kasus yang melibatkan Jaksa terkait lamanya proses penanganan perkara serta adanya petunjuk yang berlebihan. Tentunya hal tersebut semakin mempertegas bahwa konsep diferensiasi fungsional tersebut menghambat Jaksa dalam menyusun surat dakwaan dan Tuntutan yang berkualitas. 

Di dalam KUHAP sekarang, wewenang Jaksa sebagai Pengendali perkara terbatas pada saat proses Pra-Penuntutan. Menurut Adery Ardhan, Undang-Undang Kejaksaan memungkinkan Jaksa untuk melakukan pemeriksaan tambahan dalam hal adanya kekurangan pada suatu berkas. Akan tetapi, wewenang tersebut sering dianggap tidak mengikat aparat penegak hukum yang lainnya seperti Kepolisian dikarenakan hanya diatur dalam Undnag-Undang Kejaksaan. Bahkan, pada tahun 1997 dalam kasus Beng Seng, Jaksa yang melakukan pemeriksaan tambahan justru dikriminalisasi oleh Polisi karena dianggap melakukan pemalsuan berita acara pemeriksaan. Tentunya hal ini menjadi preseden buruk bagi Kejaksaan untuk melaksanakan wewenangnya kedepan. Terbukti, menurut Adery Ardhan hingga saat ini wewenang pemeriksaan tambahan belum pernah dilakukan semenjak kasus kriminalisasi tersebut. 

Konsep R-KUHAP saat ini lebih mengakomodir fungsi dan wewenang Kejaksaan sebagai pengendali perkara. Dalam RKUHAP Kejaksaan dapat mengontrol penyidikan yang dilakukan oleh penyidik, penyidik ketika melakukan pengajuan permohonan ke HPP harus melalui Jaksa penuntut umum, sehingga JPU akan mengetahui penydikan yang dilakukan penyidik. Selain, itu, ada kewenangan penuntut umum di R-KUHAP untuk melakukanplea bargain maupun penentuan pelaku yang bekerja sama (justice collabolator) memperkuat bahwa JPU merupakan pengendali perkara di setiap tahapan.

Atas dasar itu, maka Komite Pembaruan Hukum Acara Pidana merekomendasikan agar: 
  1. Kejaksaan lebih memaksimalkan fungsinya sebagai Pengendali Perkara / Dominus Litis.
  2. Kejaksaan berani untuk melakukan melakukan Pemeriksaan Tambahan terhadap perkara-perkara yang tidak jelas
  3. R-KUHAP menjadi prioritas pembahasan oleh DPR guna memperbaiki sistem peradilan pidana.


* Koalisi Untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana

Poster :

klik gambar untuk memperbesar




www.NOMagz.com

Tidak ada komentar: