Senin, 19 September 2016

Diskusi Publik Syndicate Update “101 PILKADA: Ahok, Mukidi, Petahana, hingga Calon Terpidana"

  Diskusi Publik
Syndicate Update 
“101 PILKADA:
Ahok, Mukidi, Petahana,
hingga Calon Terpidana"



Waktu :
16 September 2016

Tempat :
Kantor PARA Syndicate, Jakarta

Bersama:
  • Dr. Ida Budhiati (Komisioner KPU RI)
  • Benny Susetyo (Pengamat Etika dan Komunikasi Politik)
  • Y. Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate/Moderator)

Pilkada serentak 2017 menjadi ujian kesungguhan kita menegakkan politik bernegara. Terdapat 101 pemilihan kepala daerah di tahun 2017, tetapi mengapa hanya dinamika persoalan Pilkada DKI dan sosok Ahok saja yang mendominasi media? Ada keharusan mengedepankan etika politik dari calon petahana untuk mengajukan cuti selama masa kampanye untuk menghindari konflik kepentingan, namun hal ini kerap menjadi persoalan dan bahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi. Selain itu, arena pilkada sebagai pesta demokrasi lokal untuk memilih pemimpin daerah dari putera bangsa terbaik justru dinodai oleh politik kepentingan dengan memperbolehkan calon terpidana hukuman percobaan maju dalam pilkada.


Ulasan Redaksi :

Dr. Ida Budhiarti
Sebagai pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR, berharap Pilkada 2017 semakin berintegritas. Jika ada bukti material calon memberikan mahar politik, maka calon dan parpol pendukungnya dilarang ikut Pilkada. Ada larangan politik uang yang dianggap pidana pemilu dan didiskualifikasi. Kontestasi berlangsung fair dan calon petahana harus mengambil cuti saat berkampanye.
Persyaratan calon terpidana dilarang ikut pilkada, hanya yang 'bersih dan tidak cacat' yang boleh ikut kontestasi. Di UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, Penyelenggara KPU sebagai penyelenggara pilkada wajib konsultasi dengan Komisi II DPR, dan hasil konsultasi wajib dilaksanakan. Di pihak lain KPU sebagai penyelenggara pilkada bersifat bebas dan mandiri.
Implementasi pasal 9A, ada beberapa isu yang diangkat Komisi II DPR, khususnya syarat tidak pernah terpidana. Sebelumnya pemerintah dan Komisi II DPR telah menyetujui diperbolehkannya terpidana yang tidak dipenjara atau yang cuma melakukan culpa levis (tindak pidana ringan atau kelalaian/kealpaan) untuk ikut pilkada. Mereka menafsir pasal 7 ayat 2 huruf G UU No. 10/2016 yang mengatur syarat calon bukan sebagai terpidana berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. KPU menafsirkan calon tidak pernah berstatus sebagai terpidana.
Yang dikecualikan bagi mereka yang pernah melakukan pidana kejahatan terhadap anak-anak dan penyalah-gunaan narkoba. MK menyebut calon tidak sedang dijatuhi hukuman. Pengecualian jenis tindak pidana, misalnya sengketa politik calon dengan negara, kecelakaan lalu lintas yang tak terelakkan. Jadi sesuai pasal 7 ayat 2 huruf G, syarat tidak penah sebagai terpidana adalah,
1. Terpidana untuk kasus pidana politik,
2. Status terpidana karena kealpaan ringan,
3. Tidak menjalani hukuman di penjara.
Calon yang berstatus pidana percobaan harus menyatakan ke calon pemilihnya bahwa dia sebagai terpidana tidak dalam tahanan. DPR dan atau pemerintah dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung, jika ada keberatan terhadap Peraturan KPU.


Ida Budiarti

Benny Susetyo
'HUMOR KEBUNTUAN POLITIK'
Humor adalah fenomena masyarakat dan bentuk ungkapan frustasi masyarakat. Teori Katalis (Freud). Humor sebagai letupan aspek bawah sadar, libido. Sebagai transfer imajinasi, tubuh perempuan (sekitar dada). Yang membebaskan tekanan, tiada kesadaran. Thomas Hobbes, superioritas, melawan kekuasaan dominan. Bergeson, teori tertawa. Tertawa sebagai kontras sosial terhadap dominasi kekuasaan.
Pendekatan humor :
1. Tekanan kehidupan tidak bisa diatasi.
2. Kebebasan luar biasa.
3. Tidak ada kemajuan sama sekali.
4. Kontrol perilaku elit politisi yang ingkar janji.
5. Menjaga keteraturan norma. Martineau (1971), humor sebagai solidaritas sosial dan resistensi kekuasaan. Powell dan Paton (1988),
1. Humor sebagai budaya perlawanan.
2. Rejim penindasan.
Pendekatan simbolik. Interaksi simbolik (Emerson). Humor kebebasan mengatasi norma, kesantunan, keserasian, negosiasi melawan norma. Goffman (1971), interaksi sosial dan teori simbolik, negoasiasi norma baku, solidarity maker, tertekan, tertindas, dan, keluar dari kultur superioritas. Norrick (1993). Pendekatan fenomenologi, konstruksi sosial dan potensi perlawanan. Berger (1997). Kehidupan agama, unsur transenden. Humor menurut Marx dan Freud, ketiadaan kesadaran, aspek bawah sadar dan konflik agresivitas, humor sebagai antagonis dan politik label. Masyarakat dibuat tidak sadar kalau dikendalikan. Analisa kasus :
1. Publik kehilangan kesadaran dan kontrol sosial. Misalnya reklamasi, penggusuran, perilaku korupsi.
2. Tidak ada alternatif politik selain Ahok.
3. Ketidak-sadaran publik dan kebuntuan politik memunculkan tokoh antagonis yakni Mukidi.
4. Pembebasan dari superioritas kekuasaan yang dominan karena ketiadaan kesadaran, kalahnya nalar politik terhadap superioritas kekuasaan,  maka Mukidi menjadi maskot antagonis.
5. Fenomena Mukidi = Kartolo (1990an).


NOMagz.com

Tidak ada komentar: