Rabu, 26 Maret 2014

Diskusi bulanan Institut Peradaban “Mencermati Pemilu 2014 dalam Perspektif Budaya Populer”

Institut Peradaban (IP) kembali mengadakan diskusi bulanan  
yang kali ini akan diadakan pada  
Hari  Rabu,  26 Maret 2014 pukul 13.30 
di Wisma Intra Asia 
Jalan Prof. Dr. Soepomo 58. Tebet, Jakarta Selatan 
(500 m dari Tugu Pancoran)
   
 Topik diskusi bulan ini:
Mencermati Pemilu 2014 dalam Perspektif Budaya Populer”
Pembicara :

- Arswendo Atmowiloto
(Pengajar di London School of Public Relations Jakarta. )

- Drs. H. Ridwan Saidi
(Budayawan Betawi)

- Rocky Gerung
 (Pengajar di Departemen Filsafat FIB UI)



TERM OF REFERENCE

DISKUSI INSTITUTE PERADABAN



TEMA:

Mencermati Pemilu 2014 dalam Perspektif Budaya Populer

                                         



klik untuk memperbesar
Ridwan Saidi dan Ichsan Loulembah

Kajian tentang politik dalam perspektif budaya populer masih cukup langka, setidaknya karena apabila kita menyebut budaya populer, kesannya ada ambivalensi di sana (Heryanto, 2008:3). Budaya populer sering dilukiskan sebagai hal-hal yang ingar-bingar, melibatkan emosi kalau bukan memori publik, tetapi cepat datang dan pergi. Sifat kemassifan dalam budaya populer inilah yang berimpitan dengan politik, terutama ketika kesenian populer diambilalih oleh para politisi sebagai bagian dari ihtiar persuasif mereka dalam pemilu. Pemilu sebagai “pesta demokrasi”, tentu tidak luput dari pemanfaatan kesenian-kesenian populer sebagai pemikat massa.

Kalangan awam, atau bahkan di antara kita, kendatipun secara tak sadar, seringkal berupaya mencari tahu bahwa sebagai sebuah pesta demokrasi, apa yang bisa dinikmati dari sebuah pemilu? Pemilu-pemilu di Indonesia sejak 1955, selalu diikuti dengan ragam kampanye politik yang melibatkan ranah budaya populer. Pada 1955 kesenian-kesenian tradisional dipakai untuk menyemarakkan kampanye-kampanye partai-partai politik. Bahkan, mereka dipakai debagai alat propaganda politik. Di perdesaan-perdesaan Jawa misalnya, kesenian ketoprak dan ludruk, misalnya, populer sekali masuk ke desa-desa untuk kepentingan politik. Ikon-ikon budaya populer dalam pewayangan, juga menyembul di ranah politik.

Panggung dan musik, sebagai ornamen-ornamen budaya populer, juga sudah terasa keberadaannya di lapangan-lapangan hingga pelosok kecamatan pada pemilu-pemilu Orde Baru. Para artis menyemarakkan suasana. Tetapi, mungkin yang paling fenomenal adalah hadirnya Raja Dangdut Rhoma Irama pada Pemilu 1977 dan 1982 dalam kampanye PPP. Rhoma sendiri kemudian masuk Golkar, tetapi pada 1998 mundur dari partai itu, dan pada Pemilu 2014 muncul sebagai jurkam sekaligus bakal capres Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Tetapi, mengapa fenomena “Satria Bergitar”, merujuk pada film karya sutradara Nurhadie Irawan pada 1984 bisa dibangkitkan? Mengapa heroisasi Rhoma Irama tidak seheboh masa-masa itu?

Pada era reformasi, khususnya Pemilu 2004 dan 2009, kampanye-kampanye pemilu berlangsung seiring zaman yang berubah. Stasiun televisi sudah begitu banyak, bahkan kini ada media sosial (social media). Sifat kemassaan pemilu banyak direspons melalui pendekatan “serangan udara” alias iklan-iklan televisi dan cara-cara lain yang relevan. Spanduk yang bermunculan dengan tanda-tanda gambar partai pada 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997, pun tergeser oleh foto-foto caleg dan capres. Tentu perkembangan teknologi telah menggeser pola-pola konvensional pemanfaatan kesenian-kesenian populer yang dipandang semakin kuno dan tidak efektif. Konsep pemilu sebagai hiburan pun mengalami pergeseran.

Diskusi bulanan Institut Peradaban “Mencermati Pemilu 2014 dalam Perspektif Budaya Populer”


Studi tentang politik dan budaya populer memang masih terbatas. Kajian soal ini, misalnya antara lain bisa kita baca dalam buku yang diedit oleh Chua Beng Huat. Buku itu berjudul Elections as Popular Culture in Asia (2007). Dalam buku ini, tinjauan pemilu dalam perspektif budaya populer di Indonesia ditulis oleh

Kumpulan tulisan dalam buku itu seolah mengkonfirmasi pertanyaan di atas: apa yang menarik dari sebuah pemilu? Ternyata dimensi pertunjukannya, lebih luas lagi yang menarik dari segala macam ritual pemilu adalah, pemunculan aspek-aspek budaya populer yang menyertainya. Tentu aspek budaya ini luas dan spesifikasi kajiannya macam-macam. Ludruk di era Orde Lama, kampanye Rhoma Irama pada 1977 dan 1982, lantunan lagu “Pelangi di Matamu” karya JAMRUD oleh SBY, baju kotak-kotak pasangan Jokowi-Ahok, novelisasi kisah Dahlan Iskan atau Aburizal Bakrie, ikut nimbrungnya Dahlan Iskan dan Mahfud MD di sinetron SCTV “Mak Ijah Pengen ke Mekkah”, munculnya nama Sengkuni dalam status BBM Anas Urbaningrum dan kampanye Prabowo Subianto, dan yang lain-lain, termasuk perang spanduk dan baliho (ingat tidak baliho politik Soetrisno Bachir di masa lalu: “Hidup adalah Perbuatan”?) merupakan pernik-pernik budaya populer yang menyembul dalam kompetisi politik kita, dewasa ini. 

•          -     Dari aspek pemanfaatan budaya populer dalam politik terutama dalam pemilu, apa yang menarik dari pesta demokrasi kita saat ini (pemilu 2014)?

•       -     Dari perspektif budaya populer, apabila dibandingkan dengan pemilu-pemilu lain sepanjang sejarah Indonesia, apa saja yang bergeser? Apakah pergeseran itu lebih mengarah ke kondisi yang lebih berkualitas atau tidak dalam hal demokrasi?

Tetapi, fenomena lain yang perlu dicermati adalah merebaknya pragmatisme-transaksional dalam pemilu. Sistem pemilu kita belakangan ini (sistem proporsional terbuka dengan berbasis dukungan suara terbanyak) berbiaya mahal. Tetapi mahalnya biaya pemilu, tidak seiring dengan pemanfaatan budaya populer secara mencerahkan, melainkan budaya populer dipakai dalam kerangka pragmatisme-transaksional itu sendiri.

•       -     Bagaimana kita merespons fenomena demikian?

•       -     Apakah memang budaya populer atau sebut saja aspek kebudayaan tidak dapat menyelamatkan kondisi kepolitikan kita di level masyarakat yang telah terbiasa dengan praktik pragmatisme-transaksional itu?

Dalam demokrasi langsung, mereka yang lazim menjadi bagian dari budaya atau kesenian populer, sebut saja para artis, juga memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dunia politik.

•       -     Bagaimana fenomena ini dilihat?

•       -     Apakah para artis harus ikut-ikutan masuk ke dunia politik, tanpa terlalu mempertimbangkan aspek kualifikasi kepemimpinan (politik)?

Hal-hal semacam inilah yang akan kita kembangkan dalam diskusi Institute Peradaban kali ini. Selamat berdiskusi.**


 

klik untuk memperbesar
Paparan Ridwan Saidi



Tidak ada komentar: