Selasa, 29 November 2016

Diskusi Publik Kaukus Muda Indonesia "Merawat Kebhinekaan Indonesia Di Tengah Menguatnya Sektarianisme Politik"

Diskusi Publik
Kaukus Muda Indonesia
"Merawat Kebhinekaan Indonesia
Di Tengah Menguatnya Sektarianisme Politik"


0

Waktu :
29 November 2016

Tempat :
Gedung Dewan Pers, Jakarta

Pembicara:
  1. Thamrin Amal Tomagola (sosiolog UI)
  2. KH.Imam Aziz (ketua PBNU)
  3. Adi Prayitno (pengamat politik UIN)
  4. Suhadi Sendjaja (wakil ketua widya sabha WALUBI)


Kalau kita lihat dalam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa sektarianisme merupakan aliran dalam politik yang anti komunikasi, reaksioner, amatemosional, tidak kritis, angkuh, dan anti dialog. Dengan kata lain bisa dikatakan bahwa politik sektarian ini memiliki semangat untuk membela sekte/ madzhab atau pandangan agama tertentu secara sempit. Lebih lanjut, Marbun dalam Kamus Politik 2012, menjelaskan bahwa politik aliran atau sektarian merupakan keadaan dimana sebuah kelompok atau organisasi tertentu dikelilingi oleh sebuah organisasi masa baik formal maupun informal. Sementara tali pengikat kelompok atau organisasi masa ini adalah ideologi atau aliran sekte tertentu.

Dalam perkembangannya di tanah air, sektarianisme politik ini kemudian lebih dikenal dengan istilah politik aliran atau political cleavages yang popular pada masa orde Lama dan terberangus pada masa Orde Baru. Konsep politik aliran pertama kali dikemukakan oleh Clifford Geertz. Berdasarkan penelitiaannya Geertz mengatakan dalam masyarakat Jawa ada 3 golongan yang memiliki aliran berbeda satu sama lain yaitu Golongan Santri, Golongan Priyayi. an Abangan Dalam bidang politik Geertz berpendapat, partai-partai politik di Indonesia diibaratkan sebagai sebuah aliran sungai yang diikuti sejumlah organisasi masa yang bernaung di bawahnya.

Setelah Orba berakhir dan diganti dengan Orde Reformasi yang ditandai dengan adanya kebebasan disegala bidang, politik a seolah kembali muncul di permukaan. Berbagai partai politik yang berlatar belakang faham keagamaan tertentu mulai menyeruak dan eksis di permukaan. Meskipun belum sempat memenangi kontestasi selama empat kali pemilu, namun belakangan fenomena sektarianisme politik tersebut nampaknya mulai menguat Hal itu menemukan momentumnya dalam hajatan Pilkda DKI Jakarta karena dipicu oleh kontroversi salah satu calon yang baik dari sisi etnis dan agamnya adalah minoritas di Indonesia yaitu Basuki Tjahya Purnama alias Ahok.

Menguatnya sektarianisme politik belakangan ini dikhawatirkan sebagian kalangan akan mengoyak kesepakatan dasar atau konsensus nasional didirikannya negara bangsa Indonesia yaitu ke-Bhineka-an. Bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, ras, adat-istiadat dan bahasa menjadi ciri khas dari bangsa Indonesia itu sendiri. Meski berbeda-beda namun seluruh komponen bangsa ini sepakat untuk menjadi satu atau terkenal dengan istilah Bhinneka Tunggal Ika. Berangkat dari hal diatas, merawat ke-Bhineka-an menjadi hal mendesak dan utama yang harus dijaga oleh seluruh komponen bangsa. Pada tataran ini, sektarianis mepolitik seharusnya dimaknai sebagai tawaran pilihan politik yang beragam bagi rakyat Indonesia sehingga akan banyak alternatif bagi rakyat dalam menentukan pilihan politiknya dan bukan sebaliknya sebagai pemecah belah kesatuan bangsa.

Memaknai sekatrianisme politik sebagai sarana pilihan yang beragama bagi rakyat Indonesia dalam menentukan pilihan politiknya hanya dapat terwujud manakala ada sarana perekatnya. Konsep perbedaan adalah ramah nampaknya perlu diebalorasi secara lebih mendalam dan disosialisasikan secara membumi kepada seluruh elemen bangsa ini. Pendekatan ini mengandaikan bahwa perbedaan tidak mesti harus menjadi sarana pertentangan dalam politik yang berlebihan namun justru harus dimaknai sebagai banyaknya pilihan dan alternative politik yang bermanfaat bagi rakyat dalam menentukan pilihannya.


Ulasan Redaksi :

Thamrin Amal Tomagola
Kalau ingin menekankan pada kemajemukan, maka kata yang lebih tepat dipakai adalah "Nusantara". Indonesia dirawat, Nusantara harus "diruwat" kata Thamrin. Bangsa ada sekumpulan manusia yang disatukan oleh pengalaman sejarah yang sama. Sementara suku adalah sekumpulan manusia yang mempunyai budaya yang sama.
 Menurut data, di Indonesia ada 670 suku dengan bahasa sendiri, adat dan tradisi sendiri. Dengan 2/3 ada di Timur Indonesia.
Ada 10 suku yang dominan, yakni :
1. Jawa
2. Sunda
3. Madura
4. Minang
5. Batak
6. Melayu
7. Aceh
8. Bugis
9. Banten
10. Tionghoa

Suhadi Sendjaya
Era sekarang informasi sangat cepat, tinggal kita pilih, mau informasi baik atau informasi buruk. Bagi Suhadi, dalam peristiwa Tanjung Balai, bukanlah antara Buddha dan Islam. Yang membakar itu adalah orang - orang. Termasuk dalam peristiwa 98, bukanlah Islam, tapi "oknum".
Menurutnya, agama adalah sumber kekuatan yang positif. Agama terdiri dari A (tidak) dan Gama (kacau). Jadi agama adalah "tidak kacau".

Imam Aziz
NU pernah merasakan berada di posisi demarjinalisasi. Oleh karena itu di masa pilkada saat ini, NU terlihat " tenang-tenang saja". Di suatu masa, muslim-muslim terdidik lahir dalam sebuah partai bernama Partai Keadilan, yang kemudian menjadi Partai Keadilan Sejahtera.
Menyoal masalah Ahok, tema yang diusung tidak konsisten, dan mendorong muslim-muslim terdidik untuk muncul ke permukaan, walaupun bingung dengan tema yang diusung. Golongan muslim terdidik ini ingin muncul, tapi tidak punya tema lagi untuk diusung.

Adi Prayitno
Di UIN, persoalan apakah boleh seorang non muslim menjadi pemimpin, apakah boleh perempuan menjadi pemimpin, itu sudah lama selesai. Sebab perspektif UIN adalah dalam rangka keindonesiaan.
Dalam demo 411, berbagai isu diusung. Ada yang benar meminta kasus penodaan agama Ahok diusut tuntas. Ada FPI yang menolak Ahok sebagai gubernur. Dan ada juga yang ingin menurunkan presiden Jokowi.

Slide foto - foto selama acara


Video acara :



https://www.youtube.com/watch?v=etlOBbVZ85Y


NOMagz.com

Tidak ada komentar: