Diskusi Panel Perdana
Nawa Cita ke-8
Nawa Cita ke-8
"Revolusi Karakter Bangsa
Melalui Literasi Sejarah
Lahirkan Generasi Pembelajar"
Waktu :
Jumat, 10 Juli 2015
Tempat :
Kemendikbud Senayan Gedung A lantai 2
Keynote Speaker :
Anies Baswedan Ph.D. (Mendikbud RI)
Sambutan :
Pak Fasli Jalal (ketua Dewan Pembina GIP)
Panelis :
- Syahna Rahmah Falihah (Ketua FAD Jabar)
- Dr. Ratna Hapsari (Presiden AGSI Asosiasi Guru Sejarah Indonesia)
- Hilmar Farid (Sejarawan Praxis)
Moderator :
YantiKerLiP (direktur Eksekutif Binar Cahaya Semesta/Ketua Umum Gerakan Indonesia Pintar)
ULASAN :
Acara yang dihadiri oleh undangan terbatas untuk 100 orang terdiri dari relawan, guru, praktisi, pemerhati, pakar jurnalis, dan anak tersebut dirintis oleh Gerakan Indonesia Pintar.
Salam GeMBIRA Sekjen GIP-Alpha.
Dr. Ratna Hapsari, Presiden AGSI Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, menyampaikan perbedaan karakter dengan kepribadian. Karakter lebih bersifat 'kedalam' diri seseorang; misalnya berpendirian teguh; kuat.
Sedang kepribadian apa yang tampak luar. Misalnya kepribadiannya menarik karena adaptif (pandai menyesuaikan diri).
Pendidikan karakter harus ditanamkan sejak anak berusia dini. Misal dengan memberikan teladan tokoh panutan serta interaksi dengan lingkungannya.
Generasi Z yang akrab dengan gadget cenderung mengabaikan proses berpikir.
Anak didik dibiasakan membaca buku untuk pembelajaran proses berpikir.
Beliau menganjurkan untuk membaca komik para tokoh sebagai salah satu pelajaran keteladanan.
Prof. DR. Soedijarto, MA (Guru Besar Ilmu Pendidikan UNJ) menyebut bahwa pendidikan adalah proses pembudayaan anak didik sehingga terjadi transformasi budaya dari budaya tradisional, feodal dan budaya terjajah menjadi masyarakat yang merdeka, demokratis, modern, maju, cerdas dan bermartabat.
Dengan adanya transformasi budaya akan membawa kemajuan peradaban.
Beliau memberikan contoh kalau orang Jawa menghadapi rintangan dia akan menghindar. Sedang bagi orang Eropa rintangan dianggap sebagai tantangan.
Hilmar Farid (Sejarawan Praxis) berujar seseorang tertarik sejarah karena ada kepentingannya. Pengetahuan sejarah berbeda dengan kesadaran sejarah. Pengetahuan sejarah cenderung cepat hilang dalam ingatan; sedang kesadaran sejarah cenderung menetap dalam ingatan.
Beliau menganjurkan kesadaran sejarah menjadi landasan berpikir.
Untuk mengembangkan kesadaran sejarah ada dua cara yaitu
1. Historical empathy yakni membayangkan kita menjadi budak di USA dan apa rasanya menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri
2. Kemampuan memahami cara hidup berbeda masa lalu sebagai bagian dari dirinya.
Slide foto-foto selama acara |
www.NOMagz.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar